Jakarta, EKOIN.CO – Mantan Kepala Sub Bagian Analisis Penyelenggara Musyawarah II Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), Raja Monang PSPH Munthe, mengungkapkan bahwa penerbitan produk saving plan Jiwasraya terjadi karena adanya tekanan ekonomi pasca-krisis moneter. Keterangan ini disampaikan Monang saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) tahun 2008–2018 dengan terdakwa Mantan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Monang menjelaskan, produk saving plan Jiwasraya diterbitkan sebagai langkah strategis perusahaan untuk bertahan dari dampak krisis moneter yang mengguncang sistem keuangan Indonesia. “Kalau kita lihat urutan asuransi jiwa, sebenarnya di tahun 2008 itu kita mengalami permasalahan ekonomi,” ujar Monang di persidangan.
Tekanan Ekonomi Usai Krisis Moneter
Menurut Monang, sebelum terjadi krisis moneter, perusahaan asuransi di Indonesia mampu menawarkan produk dengan bunga tinggi, bahkan hingga 10 persen per tahun. Hal tersebut didasarkan pada tingkat bunga deposito yang berlaku pada masa itu. Namun, situasi berubah drastis setelah krisis melanda, menyebabkan perusahaan asuransi kesulitan mempertahankan imbal hasil tinggi.
BACA JUGA: Kejagung Ungkap Rincian Aset Sitaan dari Jiwasraya-Timah
“Setelah terjadi krisis moneter, kemudian mulai ada penurunan tingkat bunga, ini mengakibatkan produk-produk yang dulunya harganya dihitung dengan tingkat bunga 10 persen itu tidak bisa mengejar,” kata Monang. Ia menambahkan, banyak perusahaan asuransi saat itu melakukan penyesuaian portofolio agar tetap mampu bertahan.
BACA JUGA: Lelang Online Aset Jiwasraya Berjalan Lancar, Negara Raih Rp18 Miliar
Langkah serupa juga ditempuh oleh Jiwasraya, yang kala itu menghadapi tekanan finansial cukup berat. Menurut Monang, perusahaan berupaya mencari alternatif produk yang tidak memberatkan dari sisi bunga dan kewajiban pembayaran jangka panjang.
Dalam kondisi tersebut, produk saving plan Jiwasraya dianggap sebagai solusi yang lebih fleksibel. “Kalau itu produk endowment biasa, dia (produk) sudah menjanjikan 10 persen dan periode polis 10 tahun. Yang (bunga) 10 persen ini harus dipertahankan selama 10 tahun,” jelasnya.
Monang menilai, perbedaan utama antara endowment dan saving plan terletak pada fleksibilitas bunga tahunan. Pada saving plan, tingkat bunga bisa disesuaikan setiap tahun sesuai hasil kajian dan kondisi pasar.
“Jadi, pada waktu itu kita menganggap bahwa produk saving plan ini bisa menjadi produk untuk menggantikan produk-produk yang merugikan dari Jiwasraya,” lanjutnya.
Sidang Kasus Korupsi Jiwasraya
Meski menjelaskan alasan penerbitan produk saving plan Jiwasraya, Monang mengaku tidak mengetahui kondisi keuangan internal perusahaan tersebut. Ketika jaksa penuntut umum menanyakan tentang solvabilitas Jiwasraya, ia mengatakan tidak memiliki kewenangan untuk menilai aspek itu.
“Tugas saya hanya sebatas memeriksa kelayakan produk, bukan kondisi keuangan atau solvabilitas perusahaan,” ujarnya.
Dalam kasus ini, terdakwa Isa Rachmatarwata didakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 90 miliar. Dana tersebut merupakan pembayaran kepada dua perusahaan reasuransi asing yang diduga digunakan untuk membuat kondisi keuangan Jiwasraya tampak sehat secara administratif.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan bahwa pembayaran kepada perusahaan asing tersebut dilakukan untuk menutupi defisit keuangan Jiwasraya. “Reassurance Fund yang dibayarkan ke Provident Capital Indemnity pada tanggal 12 Mei 2010 sebesar Rp 50 miliar,” ungkap jaksa di persidangan.
Sementara sebagian dana lainnya diberikan kepada perusahaan reasuransi asing lain dengan jumlah berbeda, sesuai kesepakatan proyek yang dijalankan. Transaksi tersebut diduga dilakukan tanpa dasar keuangan yang kuat, hanya untuk menampilkan laporan keuangan Jiwasraya seolah-olah sehat.
Kasus ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian penyelidikan besar terkait dugaan korupsi dan manipulasi laporan keuangan Jiwasraya. Pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat lama dan pihak regulator masih terus dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Dalam keterangan terpisah, jaksa menyebut bahwa praktik ini menunjukkan adanya penyimpangan sistemik dalam tata kelola keuangan perusahaan pelat merah tersebut. “Tujuannya untuk menampilkan kinerja yang seolah baik, padahal kondisi keuangan sebenarnya sudah bermasalah,” kata jaksa.
Selain Isa, beberapa pejabat Jiwasraya lain sebelumnya juga telah divonis bersalah dalam kasus serupa. Namun, pemeriksaan terhadap pejabat Bapepam LK masih berlanjut untuk menelusuri dugaan kelalaian dalam pengawasan produk asuransi berisiko tinggi itu.
Hingga kini, sidang lanjutan masih menunggu agenda pemeriksaan saksi tambahan dari pihak regulator dan kementerian terkait. Pihak Kejaksaan menegaskan, semua pejabat yang terlibat dalam pengawasan atau pengambilan keputusan akan dimintai pertanggungjawaban sesuai hasil penyidikan.
Monang dalam keterangannya juga menekankan bahwa tekanan ekonomi pasca-krisis menjadi latar belakang utama munculnya kebijakan yang kemudian berujung pada masalah. “Kita melihat waktu itu situasinya darurat ekonomi, banyak perusahaan mencari cara untuk bertahan,” ucapnya.
Pihak pengadilan masih menilai sejauh mana keterkaitan antara penerbitan produk saving plan Jiwasraya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Isa Rachmatarwata dan pihak-pihak lainnya.