Jakarta EKOIN.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini memiliki landasan hukum yang lebih kuat dalam mengusut kasus korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kepastian ini hadir setelah disahkannya Revisi Undang-Undang BUMN yang mengukuhkan status jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas sebagai penyelenggara negara.
Gabung WA Channel EKOIN
Perubahan regulasi ini menghapus ketentuan lama yang sempat menimbulkan keraguan hukum bagi KPK dalam menangani dugaan tindak pidana korupsi di sektor BUMN. Kini, batasan itu tidak lagi menjadi hambatan, sehingga upaya pemberantasan korupsi bisa dijalankan lebih tegas dan menyeluruh.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa aturan baru ini memberi kepastian dalam aspek penindakan maupun pencegahan. “UU tersebut menegaskan kembali keleluasaan dan kepastian hukum bagi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi pada sektor BUMN,” ujarnya, Jumat (3/10/2025).
Kewajiban LHKPN dan Pencegahan Korupsi
Salah satu dampak nyata dari perubahan status pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara adalah kewajiban melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Budi menjelaskan, transparansi aset pejabat akan menjadi instrumen penting dalam menekan potensi penyalahgunaan kewenangan.
“Sebagai penyelenggara negara, maka atas jabatan tersebut wajib melaporkan kepemilikan aset dan hartanya melalui LHKPN,” kata Budi. Ia menambahkan, sistem ini akan mempermudah pengawasan serta mendukung terciptanya budaya integritas di sektor BUMN.
Lebih lanjut, KPK menilai revisi UU BUMN juga menutup celah hukum yang selama ini membatasi kewenangan lembaga antirasuah. “Dalam konteks penindakan, salah satu batasan kewenangan KPK adalah terkait status penyelenggara negara. Sehingga dengan adanya UU ini menjadi klir,” sebutnya.
Mendukung Tata Kelola dan Integritas BUMN
Selain fokus pada pencegahan, revisi UU ini diharapkan membawa perubahan positif dalam tata kelola BUMN. Dengan penguatan integritas, perusahaan milik negara bisa lebih efisien, sehat, dan bebas dari praktik korupsi.
Budi menyatakan, KPK tetap membuka ruang kolaborasi bersama BUMN dalam bentuk pendampingan, pengawasan, maupun program pencegahan. “KPK tentunya terbuka untuk terus melakukan pendampingan dan pengawasan, maupun bentuk-bentuk kolaborasi lainnya,” jelasnya.
Revisi UU BUMN mencakup 12 poin penting, antara lain larangan rangkap jabatan menteri di BUMN serta penegasan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memeriksa keuangan BUMN. Namun, penetapan status pimpinan BUMN sebagai penyelenggara negara dianggap sebagai langkah paling strategis dalam memperkuat pemberantasan korupsi.
Dengan adanya aturan ini, pengawasan di sektor BUMN diyakini akan lebih terstruktur, transparan, dan memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional. Integritas menjadi kunci utama agar BUMN mampu berperan maksimal dalam pembangunan sekaligus tetap bersih dari praktik korupsi.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v