Jakarta, EKOIN.CO –Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia hadapi gugatan hukum dari Asosiasi Pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Swasta (APS-SPBUS) setelah nolak permohonan tambahan kuota impor BBM untuk SPBU swasta. Gugatan tersebut diajukan karena pihak asosiasi nilai kebijakan batasan impor BBM hambat operasional dan saingan usaha di sektor ritel bahan bakar non-subsidi.
Menteri Bahlil tegaskan, pihaknya hormati proses hukum yang tengah berjalan. “Kita hargai ya, kita hargai semua proses hukum,” ujarnya seusai hadiri sidang perdana gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Menurut Bahlil, kebijakan kuota impor BBM saat ini sudah disusun berdasarkan kalkulasi kebutuhan nasional serta kapasitas distribusi SPBU swasta. Ia menilai, tudingan bahwa Kementerian ESDM batasi ruang usaha swasta adalah keliru.
Persoalan ini berawal ketika sejumlah SPBU swasta ajukan tambahan kuota impor BBM di luar alokasi yang sudah disetujui Kementerian ESDM. Permintaan tersebut ditolak karena kuota yang diberikan dianggap sudah cukup besar.
APS-SPBUS kemudian menggugat keputusan tersebut ke pengadilan. Mereka menuntut agar Menteri ESDM batalkan kebijakan batasan dan merintahkan pemberian kuota impor tambahan sesuai kebutuhan pasar.
Dalam berkas gugatan, asosiasi menyebut bahwa kebijakan Kementerian ESDM berpotensi timbulkan kelangkaan BBM non-subsidi serta kurangi daya saing pengusaha swasta terhadap badan usaha milik negara (BUMN).
Bahlil menolak tudingan itu. Ia menyatakan bahwa pemerintah justru telah berikan ruang yang besar bagi sektor swasta. “Kita sudah kasih kuota 110 persen dibanding tahun lalu. Jadi jangan dibilang tidak ada tambahan,” tegasnya.
Kementerian ESDM sebut bahwa penetapan kuota BBM dilakukan melalui mekanisme evaluasi tahunan berdasarkan kebutuhan energi nasional dan data konsumsi tahun sebelumnya. Kuota tambahan hanya diberikan bila terdapat lonjakan permintaan atau perubahan signifikan di lapangan.
Dalam hal ini, peningkatan 110 persen yang telah diberikan dianggap sudah lebih dari cukup. “Kalau ditambah lagi, nanti malah tidak efisien karena stok bisa berlebih,” ujar salah satu pejabat ESDM yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, APS-SPBUS berpendapat bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor dan ekspansi SPBU swasta pada 2025 perlukan tambahan impor agar pasokan tetap stabil, terutama di luar Pulau Jawa. Mereka juga menyoroti lambatnya proses evaluasi kuota yang dianggap hambat operasional bisnis.
Persidangan atas gugatan APS-SPBUS terhadap Menteri ESDM dijadwalkan berlanjut dalam dua pekan ke depan dengan agenda pemeriksaan dokumen kebijakan impor BBM.
Para pengamat energi menilai kasus ini sebagai ujian transparansi tata kelola sektor migas nasional. Jika tidak diselesaikan dengan baik, sengketa ini berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap konsistensi kebijakan energi pemerintah.
Dalam konteks lebih luas, perdebatan mengenai kuota BBM juga singgung isu kemandirian energi dan kebijakan impor nasional. Pemerintah tengah berupaya menekan ketergantungan terhadap impor dengan memperkuat kilang domestik dan penggunaan energi alternatif.
Namun di sisi lain, pelaku usaha menilai pembatasan impor belum diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Hal ini timbulkan kekhawatiran akan stabilitas pasokan di tengah ningkatnya konsumsi masyarakat.
Kementerian ESDM nyatakan terbuka untuk berdialog dengan pelaku usaha agar kebijakan energi nasional tetap berjalan seimbang antara kepentingan publik dan dunia industri.
Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia, Ahmad Ridwan, menilai langkah APS-SPBUS menggugat pemerintah adalah wajar dalam negara hukum. “Gugatan ini bagian dari mekanisme kontrol terhadap kebijakan publik agar tetap transparan,” ujarnya.
Jika pengadilan mengabulkan gugatan, maka Kementerian ESDM berpotensi harus meninjau ulang mekanisme alokasi kuota impor BBM untuk seluruh badan usaha. Namun jika ditolak, kebijakan saat ini akan tetap berlaku sebagai pedoman penyaluran BBM nasional.
Persoalan kuota BBM ini menjadi isu penting karena nyangkut hajat hidup orang banyak serta kestabilan harga bahan bakar di pasaran. Pemerintah diharapkan mampu stabilkan antara kebutuhan industri dan kepentingan masyarakat luas.
Keputusan hukum nanti akan menjadi preseden penting bagi hubungan antara regulator dan pelaku usaha dalam pengelolaan energi nasional. Semua pihak kini menanti hasil sidang berikutnya yang dijadwalkan pada akhir Oktober 2025.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di:
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v