Sagaing, EKOIN.CO – Serangan udara yang diduga dilakukan oleh militer Myanmar menghantam sebuah vihara di Desa Lin Ta Lu, wilayah Sagaing, pada Jumat dini hari, 10 Juli 2025, sekitar pukul 01.00 waktu setempat. Insiden tragis ini mengakibatkan lebih dari 20 orang tewas, termasuk anak-anak, dan sejumlah lainnya mengalami luka serius.
Informasi dari AFP menyebutkan bahwa para korban saat itu tengah berlindung di aula vihara yang dianggap sebagai tempat aman dari konflik yang terus berkecamuk. Namun, lokasi tersebut justru menjadi sasaran serangan. Seorang pejuang anti-junta mengatakan, “Serangan terjadi di aula biara tempat para pengungsi tinggal.”
Sebanyak 22 orang dilaporkan tewas, dengan tiga di antaranya adalah anak-anak. Selain itu, dua korban lainnya menderita luka berat dan kini dalam kondisi kritis di rumah sakit. Situasi ini menunjukkan eskalasi kekerasan yang belum mereda di tengah konflik berkepanjangan di Myanmar.
Seorang warga lokal mengonfirmasi bahwa aula utama vihara mengalami kehancuran total akibat serangan tersebut. Ia menyatakan bahwa jenazah para korban dievakuasi menggunakan mobil untuk segera dimakamkan di lokasi terdekat.
“Banyak jenazah mengalami luka di kepala. Sungguh menyedihkan melihatnya,” ujar warga tersebut, yang enggan disebutkan namanya, kepada AFP. Pernyataan ini memperkuat gambaran betapa dahsyatnya serangan yang terjadi di tengah malam itu.
Vihara Diserang Saat Jadi Tempat Berlindung
Saksi mata menyebutkan bahwa para pengungsi yang berlindung di vihara tidak menyangka akan menjadi target kekerasan. “Mereka mengira aman untuk tinggal di vihara Buddha. Tapi mereka tetap dibom,” ungkap seorang pejuang lokal.
Wilayah Sagaing sendiri memang telah menjadi lokasi konflik yang intens sejak kudeta militer tahun 2021. Daerah ini menjadi basis bagi kelompok-kelompok bersenjata yang menentang kekuasaan junta, sehingga sering kali menjadi target serangan udara.
Serangan terbaru ini menambah daftar panjang kekerasan di Sagaing. Pada Mei lalu, wilayah yang sama juga mengalami serangan udara yang menyasar sekolah di Desa Htein Kwin dan menewaskan 20 siswa dan guru.
Sagaing sebelumnya juga sempat diguncang gempa berkekuatan 7,7 Skala Richter pada Maret lalu. Meski sempat ada harapan munculnya gencatan senjata, kenyataannya aksi militer dan serangan udara terus terjadi di wilayah tersebut.
Sagaing Jadi Episentrum Konflik Myanmar
Militer Myanmar diketahui kerap menggunakan serangan udara untuk menggempur desa-desa yang diyakini menjadi basis kelompok pemberontak. Strategi ini menimbulkan banyak korban dari kalangan sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.
Konflik bersenjata yang berlangsung sejak penggulingan pemerintahan demokratis pada 2021 telah menjadikan Myanmar sebagai negara yang dilanda perang saudara. Wilayah seperti Sagaing, Chin, dan Kayah menjadi zona paling terdampak.
Hingga berita ini diturunkan, juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun, belum memberikan tanggapan atas permintaan konfirmasi dari AFP terkait insiden ini.
Serangan terhadap tempat ibadah seperti vihara menimbulkan kecaman dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Namun, belum ada tanggapan resmi dari organisasi internasional mengenai peristiwa terbaru ini.
PBB sebelumnya telah mengkritik keras tindakan militer Myanmar yang menggunakan kekuatan berlebihan terhadap warga sipil dan mendesak gencatan senjata segera di seluruh wilayah konflik.
Kekhawatiran internasional semakin besar seiring bertambahnya jumlah korban sipil dan kehancuran infrastruktur penting seperti sekolah, rumah sakit, serta tempat ibadah yang semestinya menjadi zona aman.
Desa Lin Ta Lu kini menjadi simbol terbaru penderitaan warga sipil yang terjebak di tengah konflik bersenjata yang tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat.
Sementara itu, berbagai organisasi kemanusiaan berupaya memberikan bantuan, namun akses ke lokasi-lokasi terdampak masih sangat terbatas karena situasi keamanan yang tidak stabil.
Masyarakat internasional diharapkan terus mendorong upaya damai di Myanmar agar penderitaan warga, khususnya di wilayah-wilayah seperti Sagaing, dapat segera dihentikan.
Penting juga agar seluruh pihak yang terlibat konflik menghormati hukum humaniter internasional dan tidak menjadikan warga sipil sebagai target dalam strategi militer.
dari tragedi ini menunjukkan bahwa kekerasan di Myanmar masih jauh dari selesai. Serangan yang menewaskan warga sipil, termasuk anak-anak, di tempat ibadah menandai kemunduran besar dalam upaya penyelesaian konflik. Ketiadaan tanggapan dari pihak junta juga memperlihatkan minimnya akuntabilitas atas tindakan mereka.
Komunitas internasional perlu meningkatkan tekanan diplomatik agar junta Myanmar menghentikan serangan terhadap penduduk sipil. PBB dan ASEAN seharusnya lebih tegas dalam menyuarakan perlindungan terhadap korban serta mendukung solusi damai yang menyeluruh.
Bagi rakyat Myanmar, khususnya di Sagaing, tragedi ini menambah trauma yang telah menumpuk selama bertahun-tahun akibat kekerasan militer. Perlindungan terhadap warga sipil harus menjadi prioritas utama dalam situasi perang seperti ini.
Masyarakat dunia tidak bisa terus diam ketika tempat suci seperti vihara menjadi lokasi pembantaian. Semua pihak harus menyerukan penghentian kekerasan dan pemulihan kemanusiaan di wilayah konflik.
Langkah-langkah diplomatik yang lebih konkret dan responsif dibutuhkan demi menyelamatkan nyawa dan masa depan generasi muda Myanmar dari kengerian perang yang terus berlangsung.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























