Ramallah, EKOIN.CO – Seorang pemuda keturunan Yahudi mengungkap fakta mengejutkan mengenai sejarah panjang kekejaman Zionis terhadap Palestina. Dalam pernyataannya yang dikutip dari akun X @real1maria pada Senin, 14 Juli 2025, ia menyebut bahwa kekerasan itu telah berlangsung jauh sebelum perang besar terjadi dan melibatkan kolaborasi dengan pihak Nazi Jerman.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pemuda tersebut secara terbuka menyatakan bahwa dirinya anti-Zionis meski berasal dari keluarga Yahudi. Ia menyampaikan, tuduhan anti-Semitisme kerap disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Zionis terhadap rakyat Palestina sejak sebelum abad ke-20 berakhir.
Ia menjelaskan bahwa kakek buyutnya pernah menjabat sebagai wali kota di sebuah kota di Palestina yang dikuasai Inggris pada dekade 1920 hingga 1930. Ia menegaskan, Zionisme sudah menunjukkan kecenderungan kekerasan bahkan sejak masa itu, jauh sebelum kemerdekaan Israel.
“Anti-Zionisme bukanlah anti-Semitisme. Saya Yahudi dan anti-Zionis,” tegasnya. Menurutnya, banyak orang salah kaprah memahami perbedaan antara penolakan terhadap ideologi Zionis dan kebencian terhadap orang Yahudi secara umum.
Kekerasan dan kolaborasi sejak sebelum Holocaust
Menurutnya, klaim bahwa konflik Palestina-Israel dimulai pada 7 Oktober 2023 sangat tidak berdasar. Ia menyebut bahwa kekerasan yang dilakukan Zionis telah menjadi bagian dari sejarah kolonial di kawasan tersebut sejak jauh sebelumnya.
“Sejarah tidak dimulai pada 7 Oktober. Zionisme telah dan akan selalu penuh kekerasan,” tegasnya lebih lanjut. Ia mengatakan, dokumen-dokumen sejarah menunjukkan bahwa kelompok Zionis sudah berusaha mendirikan negara di Palestina sejak sebelum Perang Dunia II.
Dalam pengakuannya, pemuda itu menyebut adanya kolaborasi antara kelompok Zionis dan Nazi sebelum peristiwa Holocaust. Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Yahudi di atas tanah Palestina yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Inggris.
“Zionis bekerja sama dengan Nazi sebelum Holocaust untuk merancang pembentukan negara Yahudi di Palestina,” katanya. Pernyataan itu memicu banyak diskusi di dunia maya terkait kebenaran dan dampaknya bagi narasi sejarah yang selama ini berkembang.
Mossad dan rekayasa migrasi Yahudi ke Israel
Lebih lanjut, ia juga menyinggung peran badan intelijen Israel, Mossad, dalam menciptakan kondisi tidak aman di negara-negara lain demi mendorong migrasi Yahudi ke Israel. Salah satu contohnya adalah ledakan sinagoga yang terjadi di Irak.
“Agen Mossad meledakkan sinagoga di Irak untuk menciptakan rasa takut, agar komunitas Yahudi di sana mau pindah ke tanah Palestina,” ungkapnya. Strategi semacam itu, menurutnya, terus dilakukan selama dekade awal berdirinya negara Israel.
Setelah peristiwa Nakba tahun 1948, Israel dituduh terus melakukan perampasan terhadap hak, tanah, dan kehidupan rakyat Palestina. Setiap kritik terhadap tindakan ini, menurutnya, selalu dianggap sebagai bentuk anti-Semitisme.
“Sejak Nakba, Israel telah merampas tanah, hak, dan kehidupan warga Palestina setiap hari,” tambahnya. Ia menekankan bahwa penting untuk membedakan antara mengkritik tindakan negara dengan membenci kelompok etnis tertentu.
Israel disebutnya sering kali menggunakan narasi ‘tanah yang dijanjikan’ sebagai pembenaran atas berbagai aksi kekerasan. Narasi itu, menurutnya, digunakan untuk membentuk opini publik bahwa tindakan Israel sah atas nama agama.
“Ketika kejahatan dilakukan atas nama orang Yahudi, itu justru menyebabkan peningkatan anti-Semitisme,” tegasnya lagi. Ia menyayangkan banyak pihak yang tidak memahami dampak jangka panjang dari pembenaran semacam itu terhadap keselamatan komunitas Yahudi global.
Ia juga menyebutkan bahwa kritik terhadap Israel tidak dapat disamakan dengan kebencian terhadap Yahudi. Kritik justru penting untuk membedakan antara kebijakan pemerintah dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya dianut banyak warga Yahudi.
“Menegur Israel atas kekejaman ini bukanlah anti-Semitisme,” ujarnya. Ia menyimpulkan bahwa menyamakan semua kritik terhadap Israel dengan kebencian rasial adalah tindakan merusak dan tidak berdasar.
Menurutnya, membiarkan kekerasan tanpa kritik akan menciptakan bahaya baru. Ia menyebut kondisi tersebut justru dapat memicu sentimen anti-Semitisme yang sesungguhnya, dan menempatkan komunitas Yahudi dalam risiko di banyak negara.
Sebagai penutup, ia meminta masyarakat internasional untuk lebih bijak dalam menilai konflik. Ia berharap dunia tidak lagi tertipu oleh narasi tunggal yang mengorbankan fakta sejarah demi pembenaran ideologi tertentu.
Kejadian ini kembali menyoroti pentingnya keterbukaan informasi dan kejujuran sejarah. Banyak kalangan menyerukan agar dunia internasional memberikan perhatian yang setara terhadap penderitaan rakyat Palestina sejak masa lampau.
Pernyataan pemuda Yahudi tersebut menuai berbagai reaksi, mulai dari dukungan hingga kritik tajam. Namun, diskusi yang tercipta di dunia maya menunjukkan semakin banyak orang yang ingin menggali lebih dalam soal sejarah konflik Palestina-Israel.
Perlu pemahaman sejarah yang menyeluruh dan tidak berat sebelah dalam menyikapi isu Palestina. Terutama karena persoalan ini sudah berlangsung selama puluhan tahun, dan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi narasi saja.
Fakta bahwa ada keturunan Yahudi sendiri yang mengkritik tindakan Zionis memberikan sudut pandang baru. Ini menunjukkan bahwa suara Yahudi pun tidak tunggal dan tidak semua mendukung kekerasan yang terjadi di tanah Palestina.
Kesadaran sejarah menjadi kunci dalam membangun perdamaian jangka panjang. Tanpa pengakuan atas kekeliruan masa lalu, proses rekonsiliasi yang sejati sulit dicapai.
Masyarakat dunia perlu mendengarkan lebih banyak suara alternatif, termasuk dari komunitas Yahudi anti-Zionis. Dengan begitu, gambaran utuh mengenai realitas di Palestina bisa lebih jelas dan adil.
Kesimpulan dari pernyataan pemuda tersebut memberi gambaran bahwa konflik Palestina-Israel bukan semata masalah keagamaan. Melainkan juga persoalan politik dan kolonialisme yang telah berlangsung sangat lama.
Mengkritik negara atau ideologi bukan berarti membenci kelompok etnis tertentu. Pandangan seperti itu penting ditegakkan agar tidak terjadi penyederhanaan narasi yang membahayakan.
Perlu keberanian untuk membongkar narasi sejarah yang tidak lengkap atau dimanipulasi. Sebab tanpa itu, generasi mendatang akan tumbuh dalam pemahaman yang keliru tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Tanggung jawab kolektif dunia sangat dibutuhkan untuk menghentikan kekerasan yang masih berlangsung. Ini mencakup kejujuran sejarah dan komitmen untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sebagai saran, komunitas internasional seharusnya lebih aktif mendukung upaya pengungkapan sejarah sebenarnya. Termasuk melindungi mereka yang berani bicara meski berasal dari komunitas yang selama ini diasosiasikan dengan pihak tertentu.(*)