Yerusalem ,EKOIN.CO – Serangan rudal dari wilayah Yaman kembali mengguncang kawasan Israel. Kamis pagi, 10 Juli 2025, sirene bahaya udara mendadak menggema di langit Yerusalem. Dentuman sirene tersebut terdengar di berbagai penjuru kota, menyebabkan warga sipil panik dan berhamburan menuju tempat perlindungan terdekat.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Militer Israel melalui pernyataan resmi menyatakan bahwa sirene itu dipicu oleh peluncuran rudal balistik yang ditembakkan oleh kelompok Houthi dari Yaman. Kelompok yang dikenal berhaluan pemberontak itu merupakan faksi bersenjata yang mendapat dukungan dari Iran.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) segera mengaktifkan sistem pertahanan udara. Dalam hitungan menit, rudal tersebut berhasil dicegat dan dihancurkan di udara sebelum mencapai target, tepat di atas wilayah pusat Israel.
Pihak berwenang Israel memastikan tidak ada korban jiwa maupun kerusakan material dari insiden tersebut. Layanan darurat Israel, Magen David Adom, juga melaporkan tidak ditemukan kerusakan infrastruktur atau fasilitas umum di Yerusalem.
Meski begitu, suasana kepanikan sempat menyelimuti warga kota. Dentuman rudal dan suara pertahanan udara menyebabkan ketegangan luar biasa, terutama di kawasan permukiman padat di sekitar Yerusalem.
Intensifikasi Serangan Houthi dan Respons Israel
Peluncuran rudal ini merupakan bagian dari serangkaian serangan yang dilancarkan Houthi sejak Maret 2025. Aksi ini disebut sebagai respons atas operasi militer Israel yang berlanjut di Jalur Gaza, yang telah menewaskan puluhan ribu jiwa.
Kelompok Houthi juga diketahui meningkatkan serangan terhadap kapal komersial di kawasan Laut Merah, Teluk Aden, dan Laut Arab. Sejak November 2023, mereka telah menargetkan puluhan kapal sebagai bagian dari tekanan terhadap Israel.
Beberapa kapal, seperti Magic Seas dan Eternity C, telah tenggelam akibat serangan tersebut. Dalam kejadian ini, empat awak kapal dilaporkan tewas dan puluhan lainnya diculik.
Juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, menyatakan bahwa rudal yang diluncurkan ke Israel Kamis pagi merupakan bagian dari operasi militer “kualitatif”. Ia menyebut tindakan ini sebagai bentuk balasan atas agresi terhadap warga Gaza.
Saree juga menegaskan bahwa tindakan kelompoknya merupakan bentuk solidaritas penuh terhadap Palestina. Ia menuding Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketegangan di kawasan.
Eskalasi Regional dan Operasi Balasan Israel
Sebagai tanggapan atas berbagai serangan tersebut, IDF telah meluncurkan serangan udara terhadap berbagai fasilitas Houthi di Yaman. Serangan menyasar pelabuhan strategis seperti Hodeida, Ras Isa, dan infrastruktur energi, termasuk pembangkit listrik.
Operasi militer ini dinamai “Operation Black Flag”. Israel mengklaim telah berhasil menghancurkan sejumlah instalasi logistik dan militer milik Houthi di berbagai wilayah Yaman.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan perluasan konflik ke skala regional. Dengan berbagai negara ikut terdampak, tekanan diplomatik terhadap negara-negara Barat turut meningkat, terutama dalam konteks keselamatan pelaut dan jalur logistik global.
Konflik ini disebut sebagai kombinasi antara perang udara, serangan maritim, dan perebutan pengaruh geopolitik di kawasan Timur Tengah. Risiko keterlibatan pihak luar, termasuk Amerika Serikat, terus menjadi bahan perbincangan di kalangan analis keamanan.
Sementara itu, Israel tetap menegaskan komitmennya untuk melindungi wilayahnya dari ancaman rudal jarak jauh. Mereka mengklaim sistem pertahanan seperti Iron Dome dan Arrow mampu mengantisipasi berbagai ancaman dari udara.
Di sisi lain, kelompok Houthi tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan serangan. Dalam beberapa pernyataannya, mereka bahkan menyebut akan meningkatkan frekuensi dan intensitas aksi militer terhadap target Israel.
Dengan latar belakang konflik di Gaza yang terus berlanjut, kemungkinan serangan tambahan dari wilayah Yaman masih terbuka lebar. Hal ini membuat warga Israel, terutama yang berada di pusat kota seperti Yerusalem, terus hidup dalam kewaspadaan tinggi.
Langkah-langkah keamanan di berbagai wilayah Israel ditingkatkan. Pemerintah juga menginstruksikan warga untuk tetap siaga menghadapi kemungkinan peringatan bahaya udara dalam beberapa hari mendatang.
Dunia internasional terus menyerukan agar semua pihak menahan diri demi menghindari perluasan konflik lebih lanjut. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketegangan masih sangat tinggi dan belum terlihat adanya celah menuju deeskalasi.
Situasi ini menjadi pengingat akan kompleksitas konflik di Timur Tengah yang tak kunjung usai, serta dampaknya yang meluas hingga ke sektor kemanusiaan, perdagangan, dan diplomasi global.
Israel dan Yaman kini menjadi dua titik panas baru dalam peta konflik modern yang melibatkan aktor-aktor non-negara, kekuatan regional, serta dinamika politik internasional yang terus berubah.
Serangan di Yerusalem Kamis pagi tersebut menjadi bukti terbaru bahwa kawasan masih berada dalam bayang-bayang perang. Dengan setiap rudal yang diluncurkan, ancaman terhadap stabilitas regional pun kian nyata.
Pihak Houthi, dalam beberapa siaran medianya, bahkan menyatakan bahwa kampanye mereka belum selesai. Mereka menyebut tindakan mereka sebagai perjuangan jangka panjang yang membutuhkan pengorbanan besar.
Meskipun rudal berhasil dicegat, ketegangan politik dan militer yang menyertainya telah menciptakan gelombang keresahan di masyarakat sipil. Hal ini berdampak pada psikologis warga, terutama anak-anak dan kelompok rentan di wilayah konflik.
dari peristiwa ini menunjukkan bahwa kawasan Timur Tengah belum sepenuhnya aman dari ketegangan militer lintas negara. Potensi ancaman baru masih mengintai dan bisa muncul sewaktu-waktu dari berbagai arah.
Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya kesiapsiagaan pertahanan dan diplomasi aktif untuk mencegah pecahnya konflik berskala luas. Upaya damai harus terus digalakkan, termasuk melalui saluran internasional yang kredibel.
Israel perlu menyeimbangkan respons militer dengan tindakan diplomatik, guna menghindari jatuhnya lebih banyak korban sipil serta kerusakan infrastruktur yang lebih besar. Sementara itu, tekanan terhadap Houthi harus diarahkan pada penghentian serangan terhadap wilayah sipil.
Masyarakat internasional, termasuk PBB, memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memfasilitasi gencatan senjata dan dialog damai di kawasan. Tanpa intervensi diplomatik yang kuat, siklus kekerasan diperkirakan akan terus berulang.
Dunia harus menyadari bahwa konflik seperti ini bukan hanya soal wilayah atau politik, tetapi juga menyangkut nasib jutaan manusia yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung dari aksi bersenjata yang terus berkecamuk.(*)













 
			 
                                 
			
 
		













