Jember,EKOIN.CO- Fenomena penjualan rumah massal melanda Jember, tepatnya di Perumahan Grand Permata Indah, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari. Puluhan warga kompak menempelkan tulisan “Rumah Dijual” di depan gerbang rumah masing-masing sebagai bentuk protes terhadap pengembang. Aksi ini muncul karena mereka merasa terisolir akibat akses jalan utama yang terlalu sempit dan fasilitas umum yang dinilai tidak memadai. Gabung WA Channel EKOIN.
Pantauan lapangan pada Kamis (18/9/2025) menunjukkan sejumlah banner besar juga terpasang di pintu masuk perumahan. Tulisan yang terpampang menyoroti masalah serius, seperti ketiadaan fasilitas umum dan sosial, tidak adanya area pemakaman, ruang terbuka hijau, hingga sistem drainase yang buruk. Kondisi ini menimbulkan keresahan berkepanjangan bagi penghuni yang sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan tersebut.
Ketua RT 007/RW 009, Yus Asmoro, menegaskan bahwa masalah paling mendasar adalah akses jalan masuk perumahan. “Fasilitas umum yang dikeluhkan terutama jalan pintu masuk perumahan tidak sesuai standar, lebarnya hanya 3 meter,” ujarnya.
Protes Warga Jember Lewat Penjualan Rumah
Asmoro menjelaskan, kondisi jalan yang hanya selebar tiga meter membuat kendaraan roda empat kesulitan melintas. Ketika mobil berpapasan, arus lalu lintas menjadi macet dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga. “Lalu lintas sangat terganggu, terutama ketika mobil ketemu mobil itu tidak bisa berpapasan,” tambahnya.
Selain akses jalan, warga juga menyoroti minimnya fasilitas vital lain. Menurut Asmoro, perumahan yang dikelola PT Wredatama Tiga Putra itu tidak menyediakan lahan pemakaman umum dan ruang terbuka hijau yang biasanya menjadi standar dalam pengembangan perumahan komersial. “Serta drainase di sekitar perumahan ini sangat buruk, jadi sering terjadi banjir saat hujan deras,” ungkapnya.
Keluhan tersebut sebenarnya sudah disampaikan kepada pihak pengembang, namun hingga kini belum ada tindak lanjut nyata. Warga menilai pengembang lamban menyelesaikan persoalan, sehingga menimbulkan frustrasi berkepanjangan. “Kami hanya ingin hidup nyaman, tetapi masalah ini berlarut larut dan tidak segera diselesaikan pengembang. Akhirnya warga memilih untuk menjual rumahnya,” tegas Asmoro.
Kawasan Perumahan Sepi Peminat
Setidaknya 30 unit rumah telah dipasangi tulisan “Dijual” oleh pemiliknya. Sebagian penghuni sudah tinggal lebih dari enam tahun, dengan status kepemilikan yang bervariasi. Ada yang sudah lunas cicilan, namun sebagian besar masih dalam proses pembayaran kredit.
Meski sudah berupaya menawarkan rumahnya ke pasar, Asmoro mengungkapkan hingga kini belum ada transaksi yang berhasil. “Karena masih baru saja dilakukan penjualan,” jelasnya. Hal ini menunjukkan potensi sulitnya menjual rumah di kawasan dengan label bermasalah.
Kondisi semakin pelik karena kantor PT Wredatama Tiga Pilar yang menjadi pengembang perumahan tampak tidak aktif. Pantauan di lokasi memperlihatkan kantor dalam keadaan sepi, dengan gerbang tertutup rapat dan tanpa aktivitas penghuni. Hal ini memperkuat anggapan warga bahwa pengembang tidak serius menyelesaikan persoalan yang ada.
Situasi yang menimpa Perumahan Grand Permata Indah ini memunculkan pertanyaan besar mengenai standar pembangunan kawasan hunian di daerah. Kasus di Jember menunjukkan pentingnya transparansi dan pemenuhan kewajiban pengembang terhadap konsumen.
Masalah serupa berpotensi menurunkan nilai investasi perumahan, mengingat rumah yang seharusnya menjadi aset jangka panjang justru menjadi beban bagi pemiliknya. Banyak warga kini berada dalam dilema: tetap tinggal dengan segala keterbatasan, atau menjual rumah meski sulit menemukan pembeli.
Di sisi lain, fenomena ini memberi sinyal kepada pemerintah daerah untuk lebih ketat mengawasi proyek perumahan komersial. Pengawasan sejak awal pembangunan dapat mencegah munculnya kasus serupa di kemudian hari. Transparansi antara pengembang dan konsumen juga menjadi kunci utama agar kepercayaan masyarakat terhadap sektor properti tetap terjaga.
Kekecewaan warga Perumahan Grand Permata Indah menjadi gambaran nyata bahwa hunian bukan sekadar bangunan fisik, melainkan juga sistem pendukung kehidupan sehari-hari. Akses jalan, fasilitas sosial, dan lingkungan yang layak menjadi hak setiap warga yang membeli rumah dengan nilai ekonomi besar.
Bila persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, maka kepercayaan masyarakat terhadap pengembang lokal bisa menurun drastis. Hal tersebut dapat berimbas pada penjualan proyek perumahan lain di kawasan sekitarnya.
Langkah cepat dari pihak pengembang maupun pemerintah daerah dibutuhkan agar fenomena jual rumah massal di Jember tidak meluas dan merugikan lebih banyak pihak. Hingga kini, warga masih menunggu solusi konkret yang bisa mengembalikan rasa nyaman di tempat tinggal mereka.
Fenomena penjualan rumah massal di Jember mencerminkan kekecewaan mendalam warga terhadap pengembang perumahan. Akses jalan sempit, drainase buruk, dan ketiadaan fasilitas umum menjadi pemicu utama.
Kondisi ini berdampak langsung pada kenyamanan dan kualitas hidup warga yang merasa terisolir di lingkungannya sendiri. Protes lewat penjualan rumah menunjukkan titik puncak frustrasi.
Meski sudah dilakukan penjualan, hingga kini belum ada rumah yang laku terjual, menandakan rendahnya minat pasar terhadap perumahan bermasalah. Hal ini berpotensi menjadi kerugian ekonomi bagi penghuni.
Sepinya kantor pengembang memperburuk kepercayaan warga, karena menimbulkan kesan pengabaian terhadap tanggung jawab. Situasi ini memerlukan campur tangan pemerintah daerah.
Ke depan, pengawasan ketat dan standar pembangunan yang jelas mutlak diperlukan agar kasus serupa tidak terulang di daerah lain. Perumahan seharusnya menjadi tempat aman, nyaman, dan layak huni bagi semua penghuninya. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v