Jakarta, EKOIN.CO — Pemerintah Indonesia kini tengah melakukan negosiasi restrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), atau Whoosh, dengan mitra dari Tiongkok. Proses ini digadang-gadang sebagai upaya penyusunan kembali pembiayaan yang lebih sustainable, agar beban utang besar dan pembengkakan biaya tidak menjadi masalah jangka panjang.
Negosiasi sudah berlangsung antara pemerintah Indonesia dan pihak Tiongkok, termasuk Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC). Rosan Perkasa Roeslani, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, menyatakan bahwa tujuan dari restrukturisasi bukan sekadar pengaturan ulang pembayaran utang, melainkan reformasi menyeluruh agar struktur pembiayaan kelak lebih sehat dan risiko seperti potensi default bisa diminimalisir.
Dua Skema Penyelesaian Utang dan Biaya Proyek yang Membengkak
Dalam pembahasan terkini, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara mengajukan dua skema sebagai solusi fiskal terhadap utang Whoosh.
- Pengambilalihan infrastruktur oleh pemerintah, sehingga kepemilikan fasilitas pendukung bukan lagi pada KCIC atau konsorsium swasta.
- Suntikan dana tambahan (equity injection) untuk memperkuat modal proyek serta menyeimbangkan kewajiban keuangan.
Keseluruhan biaya proyek dilaporkan sekitar USD 7,27 miliar (~Rp118,9 triliun), sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sekitar USD 1,2 miliar (~Rp19,9 triliun) akibat berbagai hambatan seperti pengadaan lahan dan perubahan skala teknis.
Potensi Dampak dan Keterkaitan Proyek Lanjutan
Rosan memperingatkan bahwa struktur restrukturisasi yang dibangun harus benar-benar berkelanjutan agar proyek-proyek kereta cepat selanjutnya tidak terganggu. Misalnya Kereta Cepat Jakarta–Surabaya, yang perencanaan serta desainnya dianggap harus mengadopsi model finansial yang tak simpel menjadi beban utang besar.
Sementara itu, Dony Oskaria, Chief Operating Officer BPI Danantara, menyebut bahwa keberlanjutan KAI sebagai pemilik konsorsium proyek KCIC ikut dipertimbangkan dalam opsi restrukturisasi agar perusahaan tidak terjebak dalam beban operasional sekaligus beban pelayanan utang yang berat.
Hambatan dan Tantangan Reformasi Pembiayaan
Negosiasi ini bukan tanpa tantangan. Beberapa hambatan yang muncul antara lain:
- Kompleksitas negosiasi antara pemerintah Indonesia dan berbagai pihak Tiongkok, termasuk lembaga-lembaga pembiayaan dan regulator.
- Ketidakjelasan skema teknis dan hukum untuk pengambilalihan fasilitas pendukung agar menjadi aset milik negara, termasuk bagaimana implikasi terhadap pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas tersebut.
- Estimasi beban bunga dan kewajiban pembayaran utang yang besar jika skema tidak diatur secara matang. Contohnya, menurut data perubahan suku bunga dan tenor dalam negosiasi sebelumnya. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
.