NEW YORK, EKOIN.CO – Palestina telah diakui sebagai negara oleh lebih dari 140 negara di dunia. Namun hingga kini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum memberikan pengakuan penuh. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana politik global mampu mengalahkan hukum internasional yang seharusnya menjadi pedoman bersama.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Status Palestina di PBB tergolong kompleks dan sarat kepentingan. Pengakuan secara penuh kerap kandas di Dewan Keamanan, tempat negara-negara besar memiliki hak veto. Akibatnya, politik menjadi penghalang utama pengesahan Palestina sebagai negara berdaulat secara resmi.
Para pengamat menilai, perbedaan kepentingan antarblok negara menjadi akar masalah. Meskipun hukum internasional jelas mengatur syarat berdirinya sebuah negara, kekuatan politik kerap menjadi penentu akhir keputusan.
Palestina sendiri telah memenuhi syarat dasar sebuah negara menurut hukum internasional. Mereka memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan, dan simbol kenegaraan seperti bendera. Namun, di panggung politik dunia, hal itu belum cukup untuk mengamankan kursi penuh di PBB.
Syarat Hukum dan Hambatan Politik
Pengakuan resmi di PBB memerlukan persetujuan mayoritas di Majelis Umum dan rekomendasi Dewan Keamanan. Di sinilah hambatan besar terjadi, karena Amerika Serikat secara konsisten menggunakan hak veto terhadap usulan tersebut. Faktor politik luar negeri AS yang mendukung Israel menjadi alasan utama langkah ini.
Veto tersebut membuat semua dukungan dari ratusan negara seakan tidak berarti. Padahal, secara hukum internasional, Palestina sudah memenuhi semua persyaratan untuk diakui. Namun, politik geopolitik kerap mematahkan harapan itu.
Di balik semua ini, ada dinamika kekuasaan global yang rumit. Negara-negara besar memandang isu Palestina bukan semata dari aspek hukum, tetapi dari kacamata kepentingan politik dan keamanan regional.
Kondisi ini memicu kekecewaan di kalangan pendukung kemerdekaan Palestina. Mereka menganggap PBB seharusnya netral dan memprioritaskan hukum di atas politik praktis.
Permainan Kekuatan Global
Di meja perundingan, setiap keputusan sering kali ditentukan oleh blok negara kuat. AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Tiongkok memiliki hak veto yang memengaruhi hasil akhir. Dalam kasus Palestina, dominasi politik AS menjadi faktor penghambat utama.
Bagi Palestina, dukungan dari 140 negara adalah modal penting. Namun, tanpa lampu hijau Dewan Keamanan, status penuh di PBB tetap menjadi mimpi yang tertunda karena politik veto.
Beberapa negara berupaya mencari jalan alternatif, seperti meningkatkan status Palestina di PBB dari “pengamat” menjadi “anggota penuh”. Namun, langkah ini selalu terhenti di level politik tinggi.
Pengamat menilai, kasus Palestina menunjukkan betapa rapuhnya prinsip hukum internasional jika berhadapan dengan kepentingan politik negara besar.
Isu ini juga memengaruhi stabilitas di Timur Tengah. Ketidakpastian status Palestina menjadi salah satu faktor yang memicu ketegangan berkepanjangan di kawasan yang sarat konflik politik.
Selain itu, perbedaan sikap negara-negara di dunia memperlihatkan adanya jurang kepentingan. Negara-negara di Timur Tengah dan sebagian Asia-Afrika mendukung penuh Palestina, sementara sebagian besar negara Barat cenderung sejalan dengan politik AS.
Upaya diplomasi Palestina di forum internasional belum membuahkan hasil yang signifikan. Meski demikian, mereka tetap aktif menggalang dukungan untuk menekan PBB agar mengambil langkah berani melawan dominasi politik veto.
Langkah Palestina untuk memperoleh pengakuan penuh di PBB diprediksi akan terus berlanjut. Isu ini telah menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan politik global.
Para diplomat Palestina menyadari bahwa jalan menuju pengakuan resmi masih panjang. Namun, mereka percaya perubahan peta politik internasional di masa depan bisa mengubah situasi.
Banyak pihak berharap, jika keseimbangan kekuatan global berubah, peluang Palestina untuk diakui PBB akan semakin terbuka. Hal ini akan menjadi kemenangan tidak hanya bagi Palestina, tetapi juga bagi supremasi hukum di atas politik.
Bagi sebagian pengamat, pengakuan penuh terhadap Palestina bisa menjadi momentum besar untuk menata ulang tatanan dunia yang lebih adil dan mengurangi dominasi politik sepihak.
Namun, hingga saat itu tiba, status Palestina tetap menjadi potret nyata benturan antara prinsip hukum dan kekuatan politik internasional.
Diplomasi sebaiknya terus dikedepankan agar Palestina tidak kehilangan momentum dukungan internasional.
Penting bagi negara-negara pendukung untuk menekan PBB agar mempertimbangkan kembali posisinya.
Kesadaran publik dunia perlu terus dibangun melalui kampanye internasional.
Negosiasi multilateral bisa menjadi jalan keluar jika semua pihak mau menurunkan ego politik.
Palestina perlu menjaga stabilitas internal sebagai modal untuk memperkuat legitimasi di mata dunia.
Pengakuan penuh Palestina di PBB akan menjadi langkah penting bagi perdamaian global.
Keseimbangan antara hukum dan politik perlu ditegakkan untuk mencegah dominasi sepihak.
Kasus ini menjadi pelajaran bahwa hukum internasional masih memerlukan perlindungan kuat.
Keputusan adil terhadap Palestina akan membawa dampak positif bagi kawasan.
Dunia membutuhkan sistem yang mampu membatasi kekuasaan politik yang berlebihan.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v