Jakarta, EKOIN.CO – Dua konfederasi serikat pekerja di Indonesia menunjukkan pendapat yang bertolak belakang mengenai data rekrutmen 303.000 tenaga kerja baru yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada semester I tahun 2025. Sebelumnya, seperti dilansir dari CNBC Indonesia, Kemenperin mengumumkan bahwa 1.641 perusahaan telah melaporkan pembangunan fasilitas produksi baru dengan nilai investasi mencapai Rp803,2 triliun, yang diperkirakan berimbas pada penyerapan tenaga kerja baru sejumlah tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menyatakan bahwa data 303.000 tenaga kerja baru itu seharusnya lebih besar. Ia meyakini bahwa penyerapan tenaga kerja sebesar itu sudah terjadi, bahkan menurutnya angka tersebut masih kurang. “Kami percaya data 303 ribu itu, malah kurang banyak. Kalau tidak ada penyerapan sebesar itu, chaos di seluruh wilayah,” kata Ristadi kepada CNBC Indonesia pada Selasa (12/8/2025). Ia juga menambahkan bahwa kekacauan yang terlihat di Bekasi dan Cianjur hanyalah sebagian kecil dari potensi masalah yang lebih besar. Meskipun demikian, Ristadi meminta pemerintah untuk lebih transparan dan membuka data secara rinci.
Di sisi lain, Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Presiden Partai Buruh, menyampaikan pendapat yang sangat berbeda. Ia menolak data Kemenperin yang menurutnya patut diduga bersifat “asal bapak senang dan politis”. Sebagai contoh, Said Iqbal menyebutkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tegal sebanyak 600 orang, rencana PHK di Bekasi sebanyak 200 orang, dan 87 orang di Kabupaten Bogor yang hak-haknya belum terbayar.
“Seolah-olah kondisi dunia ketenagakerjaan baik-baik saja di tengah hantaman gelombang PHK besar-besaran di sektor riil dalam kurun waktu Januari-Juni 2025,” tambah Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya. Ia pun membeberkan beberapa alasan yang mendukung pernyataannya. Pertama, Kemenperin tidak menyajikan data terperinci seperti jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, dan lokasi kejadian. Kedua, ia merasa data Kemenperin bertolak belakang dengan data BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang mencatat penurunan jumlah peserta akibat banyaknya buruh yang di-PHK.
Lebih lanjut, Said Iqbal menduga data Kemenperin tersebut menggabungkan pekerjaan informal dan menggunakan definisi BPS, di mana “orang yang bekerja adalah orang yang bekerja 1 jam selama satu minggu,” sehingga data tersebut menjadi bias. Selain itu, sebagai alasan kelima, ia menyoroti fakta di lapangan, seperti pelaksanaan bursa kerja (job fair) yang sering kali ricuh dan membeludak, menandakan susahnya mencari pekerjaan. Terakhir, meskipun ada industri sepatu dari investor luar negeri yang menyerap tenaga kerja besar, Said Iqbal menjelaskan bahwa prosesnya dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun, bukan sekaligus dalam satu semester. Oleh karena itu, buruh menuntut pemerintah untuk menyajikan data lapangan kerja yang transparan dan terukur.
Ristadi, dalam pandangannya, juga mengutip data BPS yang menyebutkan adanya penambahan 3 juta angkatan kerja baru di Indonesia setiap tahun. Oleh karena itu, menurut Ristadi, pemerintah seharusnya mampu menyediakan 1,5 juta lapangan kerja baru setiap semester. Ia pun mempertanyakan data Kemenperin yang hanya mencapai 303.000 orang. “Kalau dikaitkan dengan data Kemenperin yang 303 ribu itu, kalau itu data akurat, berbahaya. Apa nggak kurang banyak itu?” ujar Ristadi. Jika penyerapan tenaga kerja hanya 303 ribu, ia khawatir jumlah pengangguran akan melonjak.



























