Jakarta EKOIN.CO – Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (Puskep UI) menegaskan bahwa pemanfaatan etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) merupakan praktik umum yang sudah berjalan di banyak negara. Direktur Eksekutif Puskep UI, Ali Ahmudi, menyebut etanol justru membawa manfaat besar dalam menekan emisi karbon sekaligus memperkuat agenda transisi energi ramah lingkungan.
Gabung WA Channel EKOIN di sini
“Itu sudah lazim dipakai dan berpengaruh sangat baik untuk lingkungan, mereduksi emisi karbon. Di Eropa mereka biasa gunakan 5-8 persen. Di Amerika dan Australia juga sama. Tujuannya bukan sekadar bisnis, tapi agar mengurangi minyak dari fosil,” jelas Ali, dikutip Sabtu (3/10/2025).
Etanol 3,5 Persen Masih Rendah di Banding Global
Ali menyoroti penolakan sejumlah SPBU swasta di Indonesia, seperti Vivo dan BP-AKR, terhadap BBM impor Pertamina yang mengandung etanol 3,5 persen. Menurutnya, kadar tersebut masih jauh di bawah standar global dan seharusnya aman bagi kendaraan, terutama keluaran terbaru.
“Apalagi kendaraan 2010-an ke sini sudah relatif ramah lingkungan, teknologinya rata-rata adaptif. Justru di berbagai negara, kadar etanol jauh di atas 3,5 persen. Jadi kalau sebesar itu, tidak masalah,” ungkapnya.
Ia bahkan menilai alasan yang dilontarkan SPBU swasta terkesan dibuat-buat. “Kalau alasan mayor, seolah semua kendaraan akan rusak. Kalau alasan minor, ya hanya mencari-cari alasan saja,” tegasnya.
Ali menambahkan, penggunaan etanol dalam BBM sudah menjadi praktik global. “Shell, Total, BP di luar negeri hampir semuanya melakukannya,” ujarnya.
Peran Etanol dalam Transisi Energi
Selain menekan emisi karbon, etanol disebut berkontribusi dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Praktik ini menjadi bagian penting dari strategi global menghadapi perubahan iklim.
“Bukankah negara lain juga menggunakan BBM dengan etanol? Itu bisa berperan serta dalam mengurangi perubahan iklim dan emisi karbon. Nyatanya di sana aman-aman saja,” kata Ali.
Menurutnya, perusahaan energi dunia pun ikut terlibat dalam agenda transisi energi, tidak hanya untuk keuntungan, tetapi juga demi tanggung jawab lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa etanol bukan sekadar isu bisnis, melainkan kebijakan berkelanjutan.
Ali berharap masyarakat Indonesia mendapat edukasi yang baik soal manfaat etanol. “Padahal, apa yang mereka pahami (termasuk soal etanol) belum tentu benar,” ujarnya.
Kasus batalnya kesepakatan Vivo dan BP-AKR membeli BBM impor dari Pertamina karena alasan etanol 3,5 persen dinilai menunjukkan minimnya pemahaman publik terhadap isu energi bersih.
Dengan demikian, menurut Puskep UI, penggunaan etanol dalam BBM seharusnya dipandang sebagai langkah maju, bukan hambatan. Indonesia pun diharapkan bisa mengikuti praktik internasional dalam mengembangkan energi bersih dan berkelanjutan.
Pemanfaatan etanol dalam BBM terbukti mendukung pengurangan emisi karbon. Praktik ini sudah diterapkan secara luas di berbagai negara.
Standar etanol 3,5 persen yang ditolak sebagian SPBU swasta di Indonesia dinilai masih sangat rendah dibandingkan negara lain.
Puskep UI menegaskan bahwa isu kerusakan kendaraan akibat etanol tidak terbukti secara global.
Ali Ahmudi menekankan pentingnya edukasi publik agar tidak termakan informasi keliru terkait etanol.
Ke depan, penerapan etanol dapat menjadi tonggak transisi energi Indonesia menuju era ramah lingkungan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























