Jakarta, Ekoin.co – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui empat permohonan penyelesaian perkara dengan mekanisme keadilan restoratif pada Selasa, 8 Juli 2025.
Salah satu perkara yang mendapat persetujuan penyelesaian melalui keadilan restoratif adalah kasus yang melibatkan Tersangka Kaisubu Yohanes Usior dari Kejaksaan Negeri Biak Numfor, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kejadian bermula ketika Kaisubu Yohanes Usior mendatangi rumah kos pacarnya, Desy Hendrika Arwam, yang sedang tidur. Setelah terbangun, Kaisubu bertanya, “Ko baku chat dengan laki-laki siapa?” yang dijawab korban dengan, “laki-laki siapa yang ko bilang.”
Mendengar jawaban tersebut, Kaisubu memukul wajah dan bibir korban sebanyak lima kali menggunakan tangan kanannya. Karena ketakutan, Desy Hendrika berlari ke kamar saksi Mina Korwa dan Dina Maria Sroyer untuk meminta pertolongan.
Saksi Dina Maria Sroyer kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resor Biak Numfor. Berdasarkan hasil visum RSUD Biak tanggal 22 April 2025, korban mengalami luka lebam pada kepala kiri, memar pada dagu depan dan bibir bawah.
Pada 2 Juli 2025, proses perdamaian antara tersangka dan korban terlaksana, di mana tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sementara korban memberikan maaf tanpa syarat serta sepakat untuk tidak melanjutkan perkara ke persidangan.
Permohonan penghentian penuntutan diajukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Hendrizal Husin, S.H., M.H., dan setelah telaah, disetujui JAM-Pidum melalui ekspose Restorative Justice pada 8 Juli 2025.
Selain perkara tersebut, JAM-Pidum juga menyetujui tiga perkara lain dengan mekanisme keadilan restoratif. Kasus pertama adalah Tersangka Antoni Firgo pgl Anton bin Darlius dari Kejaksaan Negeri Tanah Datar terkait Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kasus kedua adalah Tersangka Erwin Prasetya bin Alamsyahbanah dari Kejaksaan Negeri Muara Enim terkait Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan yang juga mendapatkan persetujuan penyelesaian melalui mekanisme serupa.
Kasus ketiga adalah Tersangka Edi Supardi als Edi bin Basri (Alm) dari Kejaksaan Negeri Bengkulu Utara yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
JAM-Pidum menegaskan, persetujuan penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif diberikan setelah proses perdamaian antara korban dan tersangka terlaksana, serta tersangka telah meminta maaf dan korban memaafkan.
Selain itu, pertimbangan lain yang menjadi dasar penghentian penuntutan adalah tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Dalam ekspose virtual tersebut, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menekankan bahwa keadilan restoratif menjadi ruang penegakan hukum yang mengedepankan nilai kemanusiaan, perdamaian, dan memulihkan keadaan semula bagi korban serta pelaku.
Ia juga menyampaikan bahwa langkah ini diambil untuk menghindari over kapasitas lembaga pemasyarakatan dan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk memperbaiki kesalahan serta kembali diterima oleh masyarakat.



























