JAKARTA, EKOIN.CO – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak memiliki “antivirus” korupsi yang mampu mencegah kementerian dan lembaga dari praktik rasuah. Pernyataan ini disampaikan usai menyoroti sejumlah menteri era Jokowi yang terjerat kasus korupsi baik pada periode 2014–2019 maupun 2019–2024. Gabung WA Channel EKOIN
Menurut Abraham, antivirus korupsi yang dimaksud adalah kebijakan pencegahan serta sistem tata kelola yang efektif untuk menutup celah penyalahgunaan kewenangan. Ia menganggap kementerian dan lembaga di era Jokowi masih rentan menjadi “mesin” penghasil praktik korupsi.
Daftar Menteri Terseret Kasus Korupsi
Sejumlah menteri yang pernah menjabat di kabinet Jokowi telah divonis bersalah atau masih menjalani proses hukum. Mereka antara lain Idrus Marham (Menteri Sosial, 2018) dalam kasus suap PLTU Riau-1 senilai Rp2,25 miliar; Imam Nahrawi (Menpora, 2014–2019) terkait suap dan gratifikasi dana hibah KONI senilai Rp19,85 miliar; serta Edhy Prabowo (Menteri KKP, 2019–2020) dalam kasus suap izin ekspor benur.
Juliari Batubara (Menteri Sosial, 2019–2020) juga menerima suap bansos Covid-19 sebesar Rp32,48 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan. Johnny G. Plate (Menkominfo, 2019–2023) terjerat kasus korupsi proyek BTS 4G dengan kerugian negara Rp8,32 triliun, sedangkan Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian, 2019–2023) diduga terlibat gratifikasi dan TPPU.
Abraham menegaskan, rentetan kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pertahanan terhadap korupsi di kementerian maupun lembaga negara.
Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan
Sebagai lulusan S3 Hukum Universitas Hasanuddin, Abraham memandang tata kelola pemerintahan yang buruk berpotensi memproduksi korupsi. “Tata kelola itu seperti mesin. Kalau mesinnya memproduksi kejahatan, maka harus diperbaiki supaya berhenti memproduksi korupsi,” ujarnya.
Ia mengibaratkan penegakan hukum saat ini seperti pemadam kebakaran: menindak setelah api berkobar, namun tidak memperbaiki sistem untuk mencegah kebakaran berikutnya. Menurutnya, penindakan memang perlu untuk efek jera, namun harus disertai pembenahan tata kelola secara menyeluruh.
Abraham mencontohkan mekanisme pencegahan di KPK saat ia memimpin. Deputi Pencegahan akan masuk setelah penindakan, melakukan diagnosis akar masalah korupsi di kementerian, lalu memberikan rekomendasi perbaikan agar tidak terulang.
“Kalau hanya memadamkan api tanpa perbaikan, tidak ada jaminan kasus korupsi tidak akan terulang,” tegasnya.
Ia berharap pemerintahan mendatang mengintegrasikan pendekatan penindakan dan pencegahan korupsi, demi menutup celah penyalahgunaan jabatan di semua tingkatan birokrasi.
Fenomena banyaknya menteri era Jokowi yang terjerat kasus hukum menunjukkan lemahnya pencegahan korupsi. Tanpa sistem pertahanan yang kuat, risiko terulangnya praktik rasuah tetap tinggi.
Pemerintah perlu mengadopsi pola pemberantasan korupsi yang menyatukan penindakan dan pencegahan. Perbaikan tata kelola di semua level menjadi kunci menutup celah praktik ini.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v