Sukoharjo EKOIN.CO – Nasib pedagang kecil di sekitar kawasan pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kini kian memprihatinkan. Sejak penutupan permanen pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara itu pada 1 Maret 2025, satu per satu warung, kios, hingga lahan parkir warga di Sukoharjo terpaksa gulung tikar karena kehilangan pelanggan. Kondisi ini meninggalkan luka mendalam pada denyut perekonomian lokal yang dulu sangat bergantung pada aktivitas ribuan karyawan Sritex. Ikuti kabar terkini di WA Channel EKOIN.
Dampak penutupan Sritex pada pedagang
Pada masa jayanya, keberadaan pabrik Sritex menghadirkan berkah ekonomi bagi warga sekitar. Ribuan pekerja yang keluar masuk pabrik setiap hari menjadi pelanggan utama warung makan, kios sembako, hingga penyewa lahan parkir rumah warga. Pendapatan pedagang pun tidak main-main, ada yang bisa meraup hingga Rp400 ribu per hari. Bahkan, warga yang membuka lahan parkir bisa mengantongi Rp500 ribu hingga Rp600 ribu per hari.
Jika ditotal selama setahun, keuntungan para pedagang bisa menembus puluhan hingga ratusan juta rupiah. Perekonomian lokal yang terbangun dari aktivitas Sritex membuat kawasan sekitar pabrik tak pernah sepi, terutama saat jam istirahat dan pergantian shift kerja.
Namun, kondisi itu berubah drastis setelah Sritex resmi berhenti beroperasi. Seiring berhentinya produksi, ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, dan pedagang pun kehilangan sumber pelanggan utama mereka. Kawasan yang dulu ramai kini tampak sunyi.
Pantauan lapangan pada Jumat (19/9/2025) memperlihatkan deretan warung yang dulunya penuh aktivitas kini kosong dan terbengkalai. Bangku-bangku dibiarkan menumpuk berdebu, papan nama pudar, dan pintu kios terkunci rapat.
Harapan pedagang untuk ekonomi lokal
Sejumlah pedagang mengaku tak mampu lagi bertahan karena beban biaya sewa yang tinggi. Sewa kios di sekitar pabrik berkisar Rp30 juta hingga Rp50 juta per tahun, sementara lahan parkir bisa mencapai Rp150 juta per tahun. Tanpa pemasukan dari pelanggan tetap, biaya tersebut menjadi mustahil untuk dipenuhi.
“Kalau dulu, hasil sewa dan dagangan jelas menutupi biaya itu. Sekarang sama sekali tidak ada pemasukan,” tutur Rohmadi (57), warga sekitar yang juga membuka usaha kecil, Jumat (19/9/2025).
Menurut Rohmadi, warung dan kios di sekitar pabrik Sritex sudah berdiri sejak puluhan tahun, mengikuti perjalanan panjang pabrik tekstil tersebut. Banyak keluarga menggantungkan hidup pada usaha kecil itu. Kini, penutupan pabrik telah memutus rantai ekonomi yang selama ini menghidupi warga.
“Dulu kawasan sini tidak pernah sepi, apalagi saat jam istirahat. Sekarang sudah tidak ada aktivitas sama sekali,” ungkapnya. Pernyataan itu mencerminkan perubahan drastis dalam kehidupan sosial dan ekonomi warga.
Kondisi ini juga menimbulkan kekhawatiran jangka panjang. Tanpa pengganti industri atau investor baru, kawasan tersebut terancam menjadi mati suri. Perekonomian warga yang dulu bergeliat kini tak lagi memiliki sumber penghidupan jelas.
Rohmadi menambahkan, warga berharap ada langkah cepat dari pemerintah maupun investor baru yang benar-benar bisa menggairahkan kembali kawasan tersebut. “Kalau terus dibiarkan kosong, kasihan warga yang dulu menggantungkan hidupnya dari Sritex,” pungkasnya.
Kini, bayangan kejayaan masa lalu hanya tersisa dalam ingatan. Penutupan Sritex bukan hanya menutup pabrik tekstil, tetapi juga menutup peluang ekonomi bagi ribuan pedagang kecil dan keluarga mereka.
Penutupan Sritex di Sukoharjo telah memukul keras perekonomian lokal yang sebelumnya bergantung pada ribuan karyawan pabrik tekstil tersebut.
Para pedagang kecil kehilangan pelanggan tetap, membuat warung, kios, hingga lahan parkir yang dulu produktif kini terpaksa gulung tikar.
Beban biaya sewa yang tinggi semakin mempercepat kehancuran usaha warga, tanpa adanya pemasukan yang bisa menutupi kebutuhan.
Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya ekonomi masyarakat ketika bergantung pada satu pusat industri.
Diperlukan intervensi serius agar kawasan sekitar tidak terus dibiarkan mati dan bisa kembali menjadi pusat kegiatan ekonomi.
Pemerintah daerah perlu mencari investor baru untuk menghidupkan kembali kawasan eks Sritex.
Program pemberdayaan UMKM harus digencarkan agar pedagang kecil memiliki peluang diversifikasi usaha.
Perlu ada kebijakan pengurangan atau subsidi biaya sewa kios untuk membantu pedagang bertahan.
Kolaborasi antara swasta, pemerintah, dan masyarakat bisa menciptakan peluang ekonomi alternatif.
Warga setempat juga diharapkan aktif berinovasi dan memanfaatkan peluang usaha baru di luar sektor tekstil. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























