Washington ,EKOIN.CO – Salah satu pendiri Google, Sergey Brin, akhirnya merespons tuduhan serius yang dialamatkan kepada perusahaannya oleh Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese. Brin menilai tuduhan bahwa Google dan Alphabet terlibat dalam genosida di Gaza adalah bentuk anti-Semitisme yang jelas dari PBB.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Tuduhan tersebut disampaikan Albanese dalam kapasitasnya sebagai Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki Israel. Ia menuding Google dan perusahaan induknya, Alphabet, membantu operasi militer Israel dengan menyuplai teknologi cloud dan kecerdasan buatan.
Dalam pernyataan yang dikutip dari The Washington Post edisi Jumat, 11 Juli 2025, Brin menanggapi tuduhan itu dalam sebuah forum internal Google DeepMind. Ia menegaskan bahwa penggunaan istilah “genosida” sangat menyakitkan bagi banyak komunitas Yahudi.
Brin, yang juga merupakan keturunan Yahudi, menulis bahwa istilah tersebut seharusnya tidak digunakan secara sembarangan. “Dengan segala hormat, menggunakan istilah genosida dalam kaitannya dengan Gaza sangat menyinggung banyak orang Yahudi yang telah mengalami genosida yang sebenarnya,” ujarnya.
Tuduhan terhadap Google dan Alphabet
Francesca Albanese dalam laporannya menyoroti bahwa teknologi yang dikembangkan Google telah mendukung aktivitas militer Israel. Perangkat yang digunakan disebut mencakup sistem komputasi awan dan artificial intelligence (AI) untuk keperluan strategis militer.
Teknologi tersebut, menurut laporan Albanese, digunakan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam operasi militer yang sedang berlangsung di Jalur Gaza. Laporan ini menuding bahwa tindakan tersebut masuk dalam kategori kejahatan genosida terhadap warga Palestina.
Belum ada konfirmasi resmi dari Google terkait rincian kontrak teknologi dengan IDF. Namun laporan-laporan sebelumnya telah menyebutkan adanya proyek bernama “Project Nimbus” yang melibatkan Google dan Amazon dalam penyediaan layanan cloud untuk pemerintah Israel.
Dalam laporan internal Google yang diungkap ke media, beberapa karyawan juga menunjukkan ketidaksetujuan atas kerja sama perusahaan dengan militer Israel. Isu ini sempat memicu protes internal dan pemecatan sejumlah staf yang terlibat dalam aksi solidaritas untuk Palestina.
Reaksi keras dari Sergey Brin
Pernyataan Brin menjadi tanggapan publik pertama dari tokoh utama perusahaan sejak laporan Albanese beredar luas. Ia tidak menyangkal kerja sama teknologi, namun lebih menekankan bahwa tuduhan genosida sangat tidak tepat dan menyakitkan.
“PBB telah menunjukkan bias yang sangat jelas terhadap Israel, dan hal ini menurunkan kredibilitas mereka dalam menyampaikan laporan seperti ini,” tulis Brin dalam forum diskusi internal tersebut.
Brin juga mengungkapkan keprihatinannya atas meningkatnya sentimen anti-Semit di berbagai belahan dunia. Ia meminta agar Google tetap menjaga prinsip netralitas sambil mendorong diskusi yang adil dan terbuka di antara karyawan.
Menurut The Washington Post, tangkapan layar dari diskusi tersebut menunjukkan respons beragam dari peserta forum. Ada yang mendukung sikap Brin, namun sebagian lainnya meminta kejelasan atas keterlibatan Google dalam kontrak pertahanan.
Sementara itu, PBB belum memberikan tanggapan atas komentar Brin secara langsung. Francesca Albanese juga belum merilis pernyataan lanjutan setelah respons dari pihak Google mencuat ke publik.
Isu ini menambah ketegangan antara organisasi internasional dan perusahaan teknologi raksasa yang terlibat dalam penyediaan layanan kepada institusi negara, termasuk militer.
Situasi di Gaza sendiri masih terus memburuk dengan korban sipil yang terus bertambah. Komunitas internasional mendesak gencatan senjata dan evaluasi keterlibatan pihak ketiga dalam konflik ini.
Di sisi lain, pengamat HAM menilai penting untuk menelusuri aliran teknologi dan bagaimana perangkat tersebut digunakan dalam konflik yang menyebabkan krisis kemanusiaan.
Google, sebagai salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia, kini berada di bawah sorotan tajam. Transparansi dan etika penggunaan teknologi menjadi sorotan utama berbagai kalangan, termasuk LSM dan komunitas akademik.
Kontroversi ini juga diperkirakan akan berdampak terhadap citra perusahaan secara global, khususnya di kawasan Timur Tengah dan di kalangan masyarakat Muslim dunia.
Dengan mencuatnya laporan PBB dan tanggapan Brin, diskusi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan teknologi kembali mengemuka. Perdebatan mengenai batas antara inovasi teknologi dan keterlibatan dalam konflik bersenjata menjadi isu sentral yang belum terjawab.
Dalam waktu dekat, Komite Hak Asasi Manusia PBB dijadwalkan membahas laporan Albanese secara lebih rinci. Hasil dari pembahasan ini diperkirakan akan memicu reaksi lanjutan dari negara-negara anggota dan organisasi sipil internasional.
Kasus ini menunjukkan bahwa keterlibatan perusahaan teknologi dalam konflik geopolitik dapat membawa dampak serius terhadap reputasi dan legitimasi perusahaan di mata publik global. Tanggapan Sergey Brin menyoroti bagaimana perusahaan merespons tuduhan berat yang menyangkut nilai kemanusiaan.
Meskipun belum terbukti secara hukum bahwa Google mendukung tindakan genosida, transparansi tetap menjadi tuntutan utama dari berbagai pihak. Keterbukaan informasi mengenai kontrak teknologi dan dampaknya terhadap konflik bersenjata harus menjadi perhatian serius.
Kritik dari Francesca Albanese menandakan bahwa peran korporasi global tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral dan sosial. Ketika teknologi digunakan dalam konteks militer, maka dampaknya tidak bisa dianggap netral.
Penting bagi komunitas internasional dan PBB untuk membangun standar yang tegas dalam pengawasan penggunaan teknologi di wilayah konflik. Ini akan membantu menciptakan akuntabilitas dalam era digital saat ini.
Dengan berkembangnya kasus ini, publik menantikan tindak lanjut dari Google dan Alphabet, serta respons resmi dari PBB sebagai badan yang mengeluarkan laporan kontroversial tersebut.(*)
.



























