Jakarta, EKOIN.CO – Pentingnya menjaga kerukunan umat beragama di tengah konflik global kembali ditegaskan oleh Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Sekretariat Jenderal Kementerian Agama (Setjen Kemenag), M Adib Abdushomad. Hal tersebut ia sampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Dalam sambutannya, Adib menekankan bahwa menjaga keharmonisan antarumat beragama merupakan tanggung jawab seluruh warga negara. “Tugas kita adalah untuk menjaga kerukunan umat beragama, tidak ada yang lebih penting bagi kita selain menjaga keutuhan bangsa Indonesia,” ucap Adib di hadapan peserta diskusi.
Ia mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh isu-isu global yang bersifat provokatif. “Isu-isu yang terjadi di luar negeri, mohon jangan dimasukkan dalam isu yang terjadi di dalam negeri, narasi-narasi inilah yang dapat memecah belah kerukunan antar masyarakat,” tambahnya.
Adib menyebut bahwa media digital kerap kali menyebarkan narasi yang menggiring opini publik pada konflik agama, padahal sebenarnya dilatarbelakangi oleh kepentingan lain. Ia menjelaskan bahwa konflik yang tampak bernuansa agama sering kali hanyalah kemasan dari konflik geopolitik dan ekonomi.
“Sejarah mencatat, sangat sedikit konflik yang murni disebabkan oleh agama. Yang lebih sering adalah konflik kepentingan yang dibungkus narasi agama,” ujarnya. Adib berharap masyarakat dapat lebih bijak memilah informasi dan tidak terjebak dalam narasi sektarian.
Menolak Narasi Kebencian di Dunia Digital
Senada dengan Adib, Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara dan Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Purwito Hadi Wardhono, juga mengingatkan bahaya narasi kebencian di media sosial. Menurutnya, narasi-narasi itu harus dilawan dengan wacana damai.
“Kita perlu menolak narasi-narasi yang cenderung berisi kebencian dan sektarianisme, dan perlu menyebarkan narasi-narasi yang mendamaikan dan penuh toleransi di ruang digital,” jelas Purwito dalam sesi diskusi yang sama.
Ia juga menekankan pentingnya memilih sikap dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks. “Kita tidak bisa memilih zaman, tetapi kita bisa memilih sikap kita. Di tengah zaman yang penuh konflik dan peperangan, kita bisa memilih untuk tetap damai dan tetap rukun untuk bernegara,” ucapnya.
Sejarah mencatat betapa mahalnya harga sebuah konflik. Oleh karena itu, kata Purwito, diperlukan keteguhan dalam merawat keharmonisan sosial demi menjaga keutuhan negara.
Para peserta FGD yang hadir berasal dari berbagai latar belakang, termasuk akademisi, tokoh masyarakat, dan pejabat lintas lembaga. Diskusi berlangsung hangat dengan semangat kebangsaan yang kuat.
Pendidikan Jadi Pilar Kerukunan Sejak Dini
Dalam diskusi tersebut, pandangan dari kalangan akademisi turut memperkaya pembahasan. Guru besar dari Universitas Andalas, Prof. Hardisman, menyoroti pentingnya pendidikan sejak dini untuk membangun kerukunan antarumat beragama.
“Kita perlu menjadi wadah pendidikan yang baik, karena itulah ada pelajaran merata seperti Pancasila, agama, dan bahasa, untuk mendidik cara bernegara dan beragama yang baik,” jelas Prof. Hardisman.
Ia menyebut kurikulum nasional sebagai instrumen penting untuk membentuk pemahaman yang toleran dan inklusif. Dengan demikian, potensi konflik dapat diredam sejak dini.
Guru besar UIN Walisongo, Achmad Gunaryo, menambahkan bahwa Indonesia memiliki dasar negara Pancasila yang harus terus dijaga sebagai fondasi kehidupan bersama. “Indonesia harus mengelola Pancasila dengan baik untuk tetap menjadi bangsa Indonesia yang dibangun berdasarkan pluralisme,” ungkapnya.
Gunaryo menekankan bahwa Pancasila bukan hanya simbol, melainkan harus hadir dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik oleh individu maupun institusi negara.
Persatuan Adalah Kekuatan Bangsa
Achmad Gunaryo juga menyoroti keunikan bangsa Indonesia yang mampu bersatu meskipun memiliki ribuan suku dan bahasa. Ia membandingkan dengan negara lain yang tidak mampu menyatukan masyarakatnya meski berasal dari etnis serumpun.
“Banyak bangsa serumpun yang tidak bisa bersatu padahal memiliki latar budaya yang cenderung sama. Tetapi Indonesia, dengan beragam suku dan budayanya dapat menjadi satu kesatuan adalah bentuk kekuatan bangsa ini sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, kekuatan Indonesia justru terletak pada keberagamannya yang dirajut dalam semangat persatuan. Ia mengajak seluruh masyarakat untuk merawat semangat tersebut dengan penuh tanggung jawab.
“Kita perlu menjaga kesatuan NKRI, mari tunjukkan rasa syukur kita dengan menjaga kerukunan di antara kita,” pungkas Gunaryo di akhir diskusi.
Diskusi yang digelar di Jakarta pada 2 Juli 2025 itu mempertegas pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama sebagai fondasi kebangsaan. M Adib Abdushomad menyoroti dampak negatif narasi provokatif global terhadap stabilitas sosial dalam negeri, dan mengajak masyarakat agar tidak terprovokasi oleh isu yang dibungkus dengan kepentingan politik atau ekonomi.
Pendapat senada diungkapkan oleh Deputi Kemenko Polhukam, Purwito Hadi Wardhono, yang menekankan perlunya narasi damai di ruang digital. Pendidikan sejak dini juga dianggap sebagai fondasi yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan toleran, sebagaimana diutarakan oleh para akademisi yang hadir dalam diskusi.
Kegiatan ini menjadi pengingat bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan utama bangsa. Dengan memegang teguh Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia diyakini mampu terus menjaga kesatuan dalam kebinekaan. Maka, menjaga kerukunan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab setiap warga negara.(*)