Jakarta, EKOIN.CO – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi fasilitas kredit PT Petro Energy kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, pada Jumat, 3 Oktober 2025. Dalam persidangan ini, terungkap pengakuan saksi bernama Pradithya yang membenarkan bahwa Newin Nugroho, Direktur Utama PT Petro Energy, menyampaikan ketertarikan perusahaannya untuk mengajukan pinjaman sebesar Rp 1 triliun ke Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam persidangan yang dihadiri jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pradithya menyampaikan bahwa dirinya menerima informasi langsung dari Newin mengenai rencana pengajuan pinjaman tersebut. Ia mengaku sudah beberapa kali berkomunikasi dengan Newin sejak 2010, namun baru pada tahun 2015, PT Petro Energy dari grup Lautan Luas benar-benar menyatakan minat mengajukan pembiayaan ke LPEI.
Ketika ditanya oleh jaksa apakah benar dirinya menyampaikan permintaan agar PT Petro Energy mengajukan pinjaman ke LPEI, Pradithya menjawab singkat, “iya.” Jawaban itu menjadi salah satu penguat bagi jaksa dalam menggali kronologi awal terjadinya dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit oleh pihak Petro Energy.
BACA JUGA: Kasus Dugaan Korupsi LPEI, Kerugian Negara Diperdebatkan
Setelah menerima informasi tersebut, Pradithya mengaku segera melapor kepada atasannya, Yudi Trilaksono. Laporan itu kemudian diteruskan secara berjenjang kepada Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi. Dari hasil koordinasi internal, Pradithya diperintahkan untuk melakukan analisis kebutuhan pembiayaan serta meminta dokumen pendukung untuk keperluan pengecekan awal.
Tahap Rapat Pipeline dan Proses Persetujuan Awal
Menurut Pradithya, tahap awal pengajuan pinjaman PT Petro Energy dilakukan melalui rapat pipeline atau competency clearance. Dalam rapat itu, manajemen LPEI secara rutin membahas calon debitur yang akan diproses. “Dari situ, direksi biasanya memberikan izin agar prosesnya dapat segera dilanjutkan,” ujar Pradithya di hadapan majelis hakim.
Rapat pipeline yang dihadiri oleh Yudi Trilaksono dan Dwi Wahyudi menyepakati bahwa pengajuan pinjaman dari PT Petro Energy bisa dilanjutkan ke tahap pembiayaan. Hasil rapat tersebut membuka jalan bagi Petro Energy untuk bertemu langsung dengan pimpinan LPEI guna memaparkan kebutuhan pendanaan mereka.
Pradithya kemudian mengatur jadwal pertemuan antara pimpinan LPEI dan pihak PT Petro Energy sebagai calon nasabah. Pertemuan tersebut dimaksudkan agar manajemen LPEI dapat memahami lebih rinci mengenai alasan dan kebutuhan pembiayaan yang diajukan.
Dalam perkara ini, tiga petinggi PT Petro Energy didakwa telah merugikan keuangan negara hampir Rp 1 triliun karena melakukan tindak pidana korupsi terkait fasilitas kredit LPEI. Sidang pembacaan dakwaan terhadap mereka digelar pada 8 Agustus 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dakwaan Jaksa dan Kerugian Negara
Ketiga terdakwa yang duduk di kursi pesakitan adalah Jimmy Masrin selaku Komisaris Utama PT Petro Energy dan penerima manfaat (beneficial owner) perusahaan, Newin Nugroho sebagai Direktur Utama, serta Susy Mira Dewi Sugiarta yang menjabat Direktur Keuangan.
Jaksa KPK menuding perbuatan mereka telah memperkaya Jimmy Masrin sebesar US$ 22 juta dan Rp 600 miliar. “Merugikan keuangan negara sebesar US$ 22 juta dan Rp 600 miliar rupiah,” ujar jaksa di ruang sidang.
Berdasarkan perhitungan dengan kurs rupiah saat ini yakni Rp 16.298,30 per dolar AS, jumlah kerugian negara setara dengan Rp 968,56 miliar. Nilai tersebut hampir mendekati angka Rp 1 triliun sebagaimana tertulis dalam surat dakwaan.
Menurut jaksa, perhitungan kerugian keuangan negara dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasil audit BPKP yang diterbitkan pada 7 Juli 2025 mengonfirmasi bahwa telah terjadi penyimpangan dalam proses pemberian kredit kepada PT Petro Energy.
Jaksa juga menuding bahwa Jimmy, Newin, dan Susy tidak bertindak sendiri. Mereka disebut bekerja sama dengan dua pejabat LPEI, yakni Dwi Wahyudi selaku Direktur Pelaksana I dan Arif Setiawan sebagai Direktur Pelaksana IV.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena nilai kerugian negara yang sangat besar dan melibatkan lembaga pembiayaan milik pemerintah yang seharusnya mendukung kegiatan ekspor nasional.
Dari hasil penyelidikan KPK, pengajuan kredit yang dilakukan PT Petro Energy tidak memenuhi prinsip kehati-hatian lembaga keuangan. Sejumlah dokumen penting terkait kemampuan finansial dan agunan juga diduga dimanipulasi untuk memuluskan pencairan dana.
Selanjutnya, dana yang seharusnya digunakan untuk kegiatan bisnis ternyata dialihkan untuk kepentingan pribadi para terdakwa. Jaksa menegaskan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum.
Selain kerugian negara, dugaan pelanggaran etika dan prosedur di internal LPEI juga menjadi sorotan. Sejumlah pejabat disebut lalai melakukan verifikasi mendalam terhadap data dan kelayakan debitur.
Pihak LPEI sendiri belum memberikan keterangan resmi terkait sidang ini. Namun, dalam beberapa pernyataan sebelumnya, manajemen menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan di Pengadilan Tipikor.
Hingga kini, KPK masih mendalami keterlibatan pihak lain di luar nama-nama yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Tidak menutup kemungkinan, penyidikan akan melebar ke sejumlah pejabat yang turut memberikan persetujuan terhadap fasilitas kredit tersebut.