Jakarta EKOIN.CO – Harga tetes tebu atau molasses, salah satu produk turunan utama dari industri gula, anjlok drastis hingga hanya Rp 700 per kilogram. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan impor molasses dari Thailand yang diperbolehkan untuk kebutuhan bahan baku etanol setelah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2025. Situasi ini membuat produsen tetes dalam negeri tertekan dan operasional pabrik terancam berhenti.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Harga Molasses Jatuh Bebas di Pasar Domestik
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Fathudin Rosid, menyampaikan bahwa harga tetes sebelumnya stabil di kisaran Rp 2.400 per kilogram. Namun, sejak keran impor dibuka, harga terus merosot. Dari Rp 2.400 turun ke Rp 2.000, lalu Rp 1.700, melemah ke Rp 1.200, hingga kini hanya dihargai Rp 700 per kg.
“Biasanya harga tetes tahun kemarin itu Rp 2.400–Rp 2.100. Begitu ada Permendag yang membolehkan impor tetes dari Thailand untuk etanol, harga kita langsung terjun (turun),” ujar Fathudin saat ditemui di gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2025).
Fathudin menekankan, pola pendapatan produsen gula terbagi dua: dari gula dan dari tetes. Selama ini, tetes menjadi penopang tambahan yang stabil. Namun dengan harga jatuh, pabrik menghadapi kerugian berlapis.
Menurut catatan APTRI, rata-rata produksi molasses nasional mencapai 1,6 juta ton per tahun. Angka ini sebelumnya terserap habis untuk industri etanol, pakan ternak, serta bahan baku makanan dan minuman. Kini, penyerapan dalam negeri menurun tajam, sementara tangki-tangki pabrik dipenuhi stok tak terjual.
Ancaman Serius untuk Industri Molasses Nasional
Fathudin menyebut, harga ideal tetes adalah Rp 2.400 per kg, selaras dengan harga gula yang tahun lalu masih Rp 14.400 per kg. Pada tahun 2023, gula masih di kisaran Rp 13.000. Namun, kondisi terkini memperlihatkan produksi yang tidak terserap maksimal.
“Sekarang produksi kita masih ada 60 persen. Yang kemarin itu yang laku baru 40 persen kalau rata-rata,” jelasnya.
Situasi ini dinilai bukan hanya berdampak bagi pabrik, tetapi juga petani. Tanpa penyerapan optimal, sirkulasi pendapatan terhenti. APTRI mengingatkan bahwa jika dibiarkan, banyak pabrik gula bisa berhenti beroperasi.
Kebijakan impor molasses juga dipandang kontraproduktif dengan program pemerintah yang tengah mendorong swasembada gula serta pengembangan energi berbasis bioetanol. Ketika industri nasional berusaha memperkuat produksi dalam negeri, kebijakan impor justru mengurangi daya serap hasil petani lokal.
Sejumlah kalangan industri menegaskan perlunya peninjauan ulang Permendag tersebut. Menurut mereka, pembatasan impor bisa mengembalikan keseimbangan pasar sekaligus menjaga kelangsungan industri gula nasional.
APTRI juga menekankan, tanpa perlindungan yang jelas terhadap tetes lokal, posisi Indonesia akan semakin sulit dalam mengembangkan bioetanol berbasis tebu. Di sisi lain, ketergantungan pada pasokan impor berisiko melemahkan ketahanan industri domestik.Harga molasses di Indonesia kini anjlok ke Rp 700 per kilogram akibat kebijakan impor dari Thailand. Kondisi ini mengancam kelangsungan produksi pabrik gula dan keberlanjutan petani tebu.
Pemerintah diminta segera meninjau ulang kebijakan impor molasses. Perlindungan terhadap produk lokal menjadi langkah penting agar industri gula tetap berjalan, petani tetap sejahtera, dan program swasembada nasional tidak terganggu. ( * )