Jakarta, EKOIN.CO – Penghargaan tertinggi di dunia arsitektur, Pritzker Prize 2025, resmi diberikan kepada Liu Jiakun, arsitek asal Chengdu, Tiongkok. Ia dikenal luas melalui karya-karya yang tidak hanya membentuk ruang, tetapi juga menghidupkan kembali hubungan manusia dengan sejarah, lingkungan, dan komunitas di tengah kepadatan kota modern.
Juri menilai Liu mampu menggabungkan fungsi, estetika, dan nilai-nilai sosial dalam satu kesatuan yang puitis. Ia menghadirkan pendekatan yang tidak mencolok secara visual, tetapi mendalam secara makna. Alih-alih menunjukkan gaya pribadi, Liu memilih berbaur dengan konteks lokal melalui strategi desain yang adaptif dan penuh empati.
Arsitek kelahiran tahun 1956 ini memulai perjalanannya dari lorong rumah sakit tempat ibunya bekerja. Masa kecilnya membentuk sensitivitas sosial dan spiritual yang kelak menjadi fondasi dalam setiap karya arsitekturnya. Meski dibesarkan di keluarga dokter, Liu menemukan panggilannya dalam seni, lalu mengenal arsitektur melalui seorang guru.
Liu menempuh pendidikan arsitektur di Chongqing pada 1978 setelah menjadi bagian dari program Zhiqing, yang menugaskan pemuda terdidik ke pedesaan. Masa-masa awal itu terasa absurd, namun ia menyebut titik baliknya sebagai momen ketika hidupnya mulai bermakna—saat diterima kuliah dan mulai memahami makna menjadi arsitek.
Bersama Jiakun Architects yang ia dirikan pada 1999, Liu mengembangkan proyek-proyek dengan pendekatan sensitif terhadap lingkungan dan kehidupan sehari-hari warga. Dari museum, ruang publik, hingga kompleks urban, karya-karyanya menjadi narasi tentang kota, manusia, dan waktu. Pritzker 2025 menjadi penanda pengakuan global atas dedikasi tersebut.
Dari Pegunungan ke Panggung Seni
“Saat itu, kekuatan terbesar saya adalah keberanian menghadapi apa pun. Selain itu, saya punya keterampilan menggambar dan menulis,” ujar Liu. Siang hari ia merancang bangunan, malam hari ia menulis sastra.
Kecintaannya pada arsitektur hampir padam, hingga pada 1993 ia mengunjungi pameran arsitektur tunggal milik Tang Hua—teman lamanya—di Museum Seni Shanghai. Pameran itu membangkitkan kembali hasratnya dan membuka pandangan bahwa arsitektur bisa menjadi media ekspresi pribadi.
Ia menyebut momen itu sebagai awal kariernya yang sejati dalam arsitektur. Tahun-tahun setelahnya menjadi masa pertumbuhan intelektualnya, saat ia sering berdiskusi dengan seniman Luo Zhongli, He Duoling, dan penyair Zhai Yongming tentang makna arsitektur.
“Saya selalu ingin menjadi seperti air—meresap ke dalam sebuah tempat tanpa membawa bentuk tetap dari diri saya. Air itu lalu mengeras perlahan, berubah menjadi arsitektur, bahkan bisa menjadi bentuk tertinggi dari ciptaan spiritual manusia. Namun tetap menyerap seluruh sifat tempat itu, baik maupun buruk,” jelasnya.
Tahun 1999, ia mendirikan Jiakun Architects di Chengdu. Ia percaya bahwa arsitektur memiliki kekuatan transendental, tetapi tetap berakar pada komunitas, spiritualitas, tradisi, dan realitas yang sudah ada sebelumnya.
Identitas dan Inovasi dalam Arsitektur
“Identitas bukan hanya milik individu, tapi juga tentang rasa memiliki terhadap suatu tempat secara kolektif,” tulis dewan juri Pritzker Prize 2025 dalam pernyataannya. “Liu Jiakun menafsirkan ulang tradisi Tiongkok bukan dengan pendekatan nostalgia atau samar, melainkan sebagai landasan inovasi. Ia menciptakan arsitektur baru yang sekaligus menjadi catatan sejarah, infrastruktur, lanskap, dan ruang publik yang luar biasa.”
Selama lebih dari empat dekade, Liu bersama timnya telah membangun lebih dari tiga puluh proyek di seluruh Tiongkok. Karyanya meliputi institusi budaya, ruang sipil, bangunan komersial, hingga perencanaan kota. Ia juga terpilih untuk merancang Serpentine Pavilion perdana di Beijing pada 2018.
“Menulis novel dan merancang bangunan adalah dua bentuk seni yang berbeda, dan saya tidak berniat menyatukannya. Tapi mungkin karena latar belakang saya, ada hubungan alami antara keduanya dalam karya saya—seperti unsur naratif dan pencarian puisi dalam desain,” ujarnya.
Karya tulis Liu meliputi The Conception of Brightmoon (2014), yang mengeksplorasi konflik antara utopia dan realitas manusia, Narrative Discourse and Low-Tech Strategy (1997), Now and Here (2002), dan I Built in West China? (2009).
Namanya turut hadir di berbagai pameran internasional seperti Urban Creation di Shanghai Biennale (2002), Biennale Arsitektur Venesia ke-11 dan ke-15 (2008 dan 2016), serta Super Fusion di Chengdu Biennale tahun 2021.
Mengajar dan Menginspirasi Dunia
Saat ini, Liu menjadi dosen tamu di Sekolah Arsitektur Central Academy of Fine Arts di Beijing. Ia juga pernah memberikan kuliah di Cité de l’architecture et du patrimoine (Paris), MIT (Amerika Serikat), Royal Academy of Arts (London), dan berbagai institusi terkemuka lainnya.
Penghargaan yang ia terima termasuk Far Eastern Architectural Design Award (2007, 2017), ASC Grand Architectural Creation Award (2009), WA Awards for Chinese Architecture (2016), Architecture China Award (2020), Sanlian Lifeweek Award (2020), serta UNESCO Asia-Pacific Awards untuk Konservasi Warisan Budaya (2021).
Liu tetap tinggal dan bekerja di Chengdu, dan menjadikan kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai sumber inspirasinya. Ia terus menyampaikan pesan bahwa arsitektur tidak boleh lepas dari nilai kemanusiaan dan konteks lokal.
Berikut 5 karya arsitektur Liu Jiakun yang menarik;:
1. West Village, Chengdu (2015)
West Village dirancang sebagai kompleks multi-fungsi yang memadukan fungsi komersial, budaya, olahraga, dan publik dalam satu blok perkotaan. Jiakun Architects merancangnya dengan filosofi inklusivitas dan konektivitas, menciptakan ruang internal semi-terbuka yang dikelilingi jalur sepeda dan pejalan kaki serta terintegrasi dengan komunitas sekitarnya.
Secara teknis, bangunan lima lantai ini dirancang dengan struktur perimeter yang membungkus ruang dalam. Tata ruangnya fleksibel, memungkinkan pengunjung menikmati kegiatan budaya, olahraga, rekreasi, dan kantor tanpa sekat. Material seperti beton ekspos dan baja digunakan untuk menciptakan suasana industrial-modern yang tetap menyatu dengan lanskap kota Chengdu.
West Village memperoleh pengakuan dari berbagai forum arsitektur karena kemampuannya menyatukan kepadatan dan ruang terbuka. Proyek ini disebut sebagai “vibrant city within a city.” Selain digunakan secara aktif oleh warga Chengdu, proyek ini banyak dikaji di studio arsitektur internasional sebagai studi kasus pembangunan berorientasi komunitas di kawasan urban padat.
2. Luyeyuan Stone Sculpture Art Museum, Chengdu (2002)
Museum ini berdiri tenang di tengah hutan bambu Chengdu, dirancang untuk menyatu dengan alam sekitar tanpa mendominasi. Liu Jiakun memadukan filosofi ketenangan dengan arsitektur minimalis berbasis batu lokal. Museum ini bukan hanya ruang pamer, tetapi juga ruang kontemplasi yang mendalam bagi pengunjung.
Desain bangunan memanfaatkan pencahayaan alami dari skylight dan celah-celah di dinding. Bentuk geometris sederhana dan garis horizontal memperkuat hubungan antara bangunan dan lanskap hutan. Material batu ekspos memberikan kesan berat namun bersahaja, menekankan fungsi museum sebagai ruang refleksi terhadap karya seni dan alam.
Tim Jiakun Architects berkolaborasi dengan pematung dan kurator lokal untuk mengembangkan narasi ruang yang selaras dengan karya-karya yang dipamerkan. Museum ini kerap dijadikan studi desain arsitektur alamiah dan telah ditampilkan dalam beberapa publikasi internasional sebagai contoh integrasi lanskap dan seni rupa kontemporer di Tiongkok barat daya.
3. Department of Sculpture, Sichuan Fine Arts Institute, Chongqing (2004)
Departemen Patung ini dibangun dalam kampus padat dengan keterbatasan ruang. Jiakun Architects merespons tantangan itu dengan menciptakan struktur berlapis yang menjorok keluar. Desain ini tidak hanya menambah luas lantai, tapi juga membentuk identitas visual kuat bagi institusi seni yang progresif.
Fasad bangunan terdiri dari panel beton ringan dengan insersi kaca dan bukaan tidak simetris. Penempatan jendela dan teras dirancang untuk memberikan pencahayaan alami serta interaksi visual antara ruang dalam dan luar. Struktur menjorok ke depan di setiap lantai menciptakan ritme spasial dinamis yang mendukung aktivitas seni.
Bangunan ini menjadi ruang belajar terbuka yang merangsang diskusi antar mahasiswa dan dosen. Proyek ini memenangkan WA Awards for Chinese Architecture tahun 2016 karena keberaniannya menciptakan solusi desain di atas keterbatasan fisik. Selain itu, ia berfungsi sebagai simbol transformasi pendidikan seni di Chongqing.
4. Shuijingfang Museum, Chengdu (2013)
Shuijingfang Museum merupakan proyek konservasi dan adaptasi yang menggabungkan arsitektur kontemporer dengan warisan industri arak tertua di Chengdu. Museum ini berdiri di atas fondasi penyulingan arak berusia 600 tahun. Jiakun Architects menggabungkan struktur beton modern dengan elemen kayu tradisional dalam harmoni arsitektural yang memukau.
Struktur utama menggunakan dinding beton ekspos dengan cetakan kayu, menghidupkan tekstur warisan industri. Interior museum diatur dalam narasi linier, mengajak pengunjung menelusuri sejarah pembuatan arak serta nilai sosial-ekonomi yang menyertainya. Halaman tengah dipertahankan sebagai ruang terbuka yang menghubungkan elemen lama dan baru.
Museum ini mendapat penghargaan dari UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation tahun 2021 dalam kategori desain baru pada konteks warisan budaya. Kolaborasi antara Jiakun Architects, tim sejarawan, dan komunitas lokal menjadikan proyek ini percontohan pelestarian nilai historis melalui pendekatan desain arsitektur masa kini.
5. Suzhou Museum of Imperial Kiln Brick, Suzhou (2016)
Museum ini dibangun untuk melestarikan sejarah produksi bata kekaisaran di Suzhou, yang digunakan pada istana-istana Dinasti Ming dan Qing. Jiakun Architects merancang struktur vertikal tiga lantai dengan pendekatan yang membingkai narasi sejarah dalam pengalaman spasial yang berlapis dan kontemplatif.
Bangunan utama dibentuk dari beton bertulang dengan elemen vertikal yang menyerupai tungku pembakaran bata. Sirkulasi pengunjung dirancang spiral ke atas, melewati ruang pameran terbuka, ruang arsip, dan galeri naratif. Atap semi terbuka menyambungkan museum dengan lanskap kota dan situs produksi bata asli.
Proyek ini dikerjakan bersama pemerintah kota Suzhou, arkeolog, dan tim konservator bahan bangunan. Selain sebagai ruang edukatif, museum ini berdampak besar dalam mengangkat kembali kesadaran publik terhadap warisan produksi material bangunan tradisional. Museum ini dipamerkan di Biennale Arsitektur Venesia 2016 dan menuai banyak pujian internasional.
Perjalanan hidup Liu Jiakun menegaskan bahwa arsitektur bukan hanya tentang bangunan, melainkan tentang bagaimana kita membentuk dan dipengaruhi oleh ruang. Dari pengalaman pribadi di masa kecil hingga keterlibatannya dalam proyek-proyek urban besar, Liu membawa nilai spiritual dan sosial ke dalam setiap karyanya.
Ia membuktikan bahwa kesadaran akan tempat, sejarah, dan manusia dapat menghasilkan desain yang bermakna dan menyentuh. Lewat kombinasi narasi, strategi arsitektur, dan empati, ia menentang pendekatan kaku yang hanya mengejar bentuk atau estetika.
Liu terus berkarya sebagai arsitek dan penulis, menyampaikan bahwa arsitektur adalah bagian dari kehidupan yang harus menyatu dengan komunitas, bukan berdiri menjulang di atasnya. Dalam dunia yang berubah cepat, ia mengingatkan bahwa kekuatan terbesar arsitektur ada pada kemampuannya untuk memahami dan melayani kehidupan.(*)