JAKARTA, EKOIN.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret nama mantan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov). Langkah ini dilakukan melalui Kedeputian Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK, mengingat penanganan perkara berada di Bareskrim. Ikuti update eksklusif di WA Channel EKOIN.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan pihaknya tengah memantau proses hukum yang sedang berjalan di kepolisian. “Karena penanganannya oleh Bareskrim, kami dari Kedeputian Dakusi (Penindakan dan Eksekusi) akan berkoordinasi dengan Kedeputian Korsup untuk meminta informasi terkait perkembangan penanganan perkara TPPU dimaksud,” ujarnya, Selasa (19/8/2025).
Sebelumnya, desakan agar KPK lebih aktif dalam menangani dugaan TPPU Setnov datang dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Organisasi ini menilai penanganan kasus di kepolisian belum memperlihatkan progres yang jelas.
Desakan Publik Perkuat Kasus TPPU Setnov
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menilai perlu adanya langkah cepat dari lembaga antirasuah. Ia menyebut, dugaan TPPU yang berkaitan dengan korupsi proyek e-KTP seharusnya ditangani lebih transparan. Menurutnya, kasus yang berada di Bareskrim Polri terkesan lamban tanpa kejelasan arah hukum.
MAKI meminta KPK turun tangan karena menyangkut kepentingan publik. Skandal korupsi e-KTP yang menyeret Setnov sebelumnya telah menimbulkan kerugian besar negara. Publik pun menaruh perhatian besar pada setiap perkembangan hukum yang masih berkaitan dengan kasus tersebut.
Sejak awal, keterlibatan Setnov dalam kasus e-KTP dianggap sebagai salah satu contoh terbesar praktik korupsi di Indonesia. Dengan adanya dugaan TPPU, publik berharap aset hasil tindak pidana dapat dilacak dan dikembalikan untuk kepentingan negara.
Pembebasan Bersyarat dan Kewajiban Setnov
Di tengah sorotan publik, Setnov diketahui telah mendapatkan pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025. Keputusan ini muncul setelah Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dalam putusan PK Nomor 32/PK/Pid.sus/2020 tanggal 4 Juni 2025, hukuman Setnov dipangkas dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara.
Selain pengurangan masa hukuman, Setnov diwajibkan membayar denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti lebih dari Rp49 miliar. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Jabar, Kusnali, menyatakan Setnov telah memenuhi kewajiban pembayaran tersebut. “Pembayaran denda Rp500 juta sudah dibuktikan dengan surat keterangan lunas dari KPK,” ungkapnya.
Setnov juga sudah melunasi sebagian besar uang pengganti sebesar Rp43,7 miliar. Sisa kewajiban senilai Rp5,3 miliar juga telah diselesaikan melalui mekanisme yang ditetapkan KPK. Dengan demikian, seluruh kewajiban finansialnya terkait perkara korupsi e-KTP dianggap tuntas.
Meski bebas bersyarat, status hukum Setnov tetap menjadi sorotan karena masih ada dugaan TPPU yang tengah ditangani Bareskrim. Publik mempertanyakan komitmen penegak hukum untuk menuntaskan aspek pencucian uang dari kasus ini.
Koordinasi antara KPK dan Bareskrim menjadi krusial agar tidak ada ruang abu-abu dalam penegakan hukum. Transparansi juga diharapkan agar publik mengetahui langkah apa yang akan ditempuh selanjutnya terhadap dugaan TPPU tersebut.
KPK sendiri menegaskan, koordinasi dengan Bareskrim dilakukan untuk memastikan proses hukum berjalan akuntabel. Penelusuran aset yang diduga terkait pencucian uang dianggap sebagai bagian penting dalam pemberantasan korupsi.
Dengan status bebas bersyaratnya Setnov, perhatian publik kembali menguat pada kasus e-KTP dan dugaan TPPU. Banyak pihak menilai langkah hukum harus tetap berjalan, sekalipun terpidana utama sudah berada di luar jeruji.
Ke depan, hasil koordinasi antara KPK dan Bareskrim akan menjadi penentu arah penanganan kasus. Apakah KPK akan mengambil alih penyidikan atau tetap memantau proses di kepolisian masih menunggu perkembangan lebih lanjut.
Kasus TPPU yang menjerat Setnov diharapkan menjadi momentum pembenahan serius dalam praktik penegakan hukum korupsi di Indonesia. Publik menunggu bukti nyata bahwa negara tidak mentoleransi upaya melarikan atau menyembunyikan hasil tindak pidana korupsi.
Koordinasi KPK dengan Bareskrim mengenai dugaan TPPU Setnov menunjukkan adanya langkah penguatan penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini menegaskan pentingnya keterlibatan dua lembaga penegak hukum utama dalam menangani perkara besar.
Kehadiran desakan publik dan MAKI menambah bobot urgensi agar kasus tidak berlarut. Transparansi menjadi kunci agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga.
Setnov yang kini bebas bersyarat tetap berada dalam sorotan publik. Hal ini karena dugaan TPPU masih membayangi rekam jejak hukumnya.
Koordinasi lintas lembaga penting untuk menuntaskan aspek pencucian uang. Penelusuran aset hasil kejahatan harus memastikan kerugian negara bisa dipulihkan.
Harapan publik, langkah hukum dalam kasus TPPU Setnov mampu menjadi preseden baik. Negara diharapkan tegas menghadapi praktik pencucian uang yang menyertai korupsi.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v