Washington, EKOIN.CO – Direktur Mossad, David Barnea, melakukan kunjungan penting ke ibu kota Amerika Serikat awal pekan ini untuk mendesak dukungan Washington dalam upaya Israel melobi beberapa negara agar bersedia menerima pengungsi Palestina dari Gaza. Dalam pertemuan dengan utusan Gedung Putih, Steve Witkoff, Barnea menyampaikan bahwa Israel telah menjalin komunikasi khusus dengan Etiopia, Indonesia, dan Libya terkait rencana relokasi warga Palestina.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Barnea secara eksplisit meminta bantuan Amerika Serikat untuk menawarkan insentif kepada negara-negara tersebut agar bersedia menerima gelombang besar pengungsi dari Gaza. Menurut laporan dari Axios, dalam pertemuan tersebut, ia menyebut bahwa ketiga negara itu telah menunjukkan “keterbukaan” terhadap kemungkinan menerima warga Palestina, meskipun belum ada komitmen resmi.
Pertemuan antara Barnea dan Witkoff berlangsung dalam suasana yang menurut laporan tergolong sensitif. Pemerintah Israel dikabarkan berusaha menggalang dukungan internasional demi melancarkan relokasi yang mereka klaim bersifat “sukarela”, meski telah banyak mendapat kecaman dari kalangan hukum dan kemanusiaan internasional.
Barnea menekankan bahwa relokasi ini bukan pengusiran paksa, namun bersifat sukarela. Meski demikian, sejumlah pakar hukum dari Amerika Serikat dan Israel memperingatkan bahwa tindakan semacam itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional, bahkan kejahatan perang jika terbukti memaksa eksodus massal.
Dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa Gedung Putih belum memberikan komitmen untuk mendukung rencana Israel ini. Witkoff, yang menjadi perwakilan AS dalam pertemuan itu, mendengarkan pemaparan Barnea namun tidak menyatakan kesediaan untuk mendukung secara aktif rencana tersebut.
Keterlibatan Negara Ketiga Masih Abu-abu
Pihak dari Etiopia, Indonesia, dan Libya belum memberikan pernyataan resmi terkait isu ini. Kementerian Luar Negeri dari ketiga negara tersebut tidak merespons permintaan komentar yang diajukan sebelum publikasi laporan Axios. Ketidakhadiran pernyataan ini menambah ketidakjelasan arah diplomasi Israel dalam upaya relokasinya.
Hingga kini belum ada rincian mengenai jumlah warga Palestina yang kemungkinan akan dipindahkan, ataupun lokasi tujuan spesifik yang ditawarkan dalam ketiga negara tersebut. Namun sumber yang dikutip menyebut bahwa jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu orang.
Pemerintah Israel diyakini sedang dalam tekanan berat karena krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza, terutama sejak pecahnya perang pada Oktober 2023. Rencana relokasi ini dinilai sebagai strategi untuk meredakan tekanan domestik dan internasional yang terus meningkat.
Barnea mengusulkan agar Amerika Serikat memberikan bantuan keuangan atau dukungan diplomatik bagi negara-negara yang bersedia menerima pengungsi. Hal ini dianggap sebagai langkah strategis untuk mendorong negara-negara sasaran agar lebih terbuka terhadap permintaan Israel.
Netanyahu Klaim Sukarela, Namun Dikritik Keras
Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi kritik tajam dari berbagai pihak terkait rencana ini. Klaim bahwa relokasi bersifat sukarela dianggap tidak sejalan dengan kondisi nyata di lapangan, terutama menyangkut blokade dan serangan militer yang terus berlangsung di wilayah Gaza.
Dalam beberapa bulan terakhir, kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan keterbatasan akses terhadap air, makanan, dan layanan kesehatan. Hal ini memicu eksodus besar-besaran dari wilayah yang terkepung tersebut.
Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa pemindahan massal semacam ini dapat menjadi bentuk “pembersihan etnis” jika dilakukan secara sistematis dan tanpa perlindungan hukum bagi warga yang terdampak.
Belum ada konfirmasi dari pejabat tinggi AS mengenai apakah usulan Barnea akan dibahas dalam forum resmi antara kedua negara. Gedung Putih pun belum menjelaskan secara terbuka posisi mereka terkait potensi relokasi warga Palestina ke negara-negara ketiga.
Permintaan Israel agar Amerika Serikat turut membantu menyakinkan negara lain, termasuk dengan menawarkan insentif, menunjukkan bahwa Tel Aviv tidak ingin menanggung risiko politik sendiri dalam pelaksanaan rencana relokasi.
Langkah Israel ini menandai babak baru dalam dinamika geopolitik Timur Tengah, khususnya dalam upaya mengalihkan fokus dari konflik internal ke penyelesaian dengan pendekatan luar negeri. Namun pendekatan ini juga menimbulkan kekhawatiran baru mengenai stabilitas dan hak pengungsi.
Belum ada indikasi jelas kapan keputusan akan dibuat oleh Etiopia, Indonesia, atau Libya. Namun pernyataan keterbukaan yang dikutip dalam pertemuan tersebut memunculkan spekulasi bahwa diplomasi intensif masih akan terus berlangsung di balik layar.
Situasi ini juga membuka kemungkinan akan adanya tekanan tambahan kepada negara-negara yang dianggap dekat secara strategis dengan Amerika Serikat, untuk mendukung agenda Israel melalui jalur kemanusiaan yang dipaksakan.
Rencana relokasi warga Palestina ke negara ketiga mengindikasikan tekanan krisis yang semakin akut di Gaza. Meskipun Israel mengklaim bahwa pemindahan ini bersifat sukarela, banyak pihak internasional memandangnya sebagai pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan. Ketidakjelasan komitmen dari negara-negara yang dilobi menjadi pertanda bahwa proses ini masih jauh dari tahap implementasi.
Penggunaan diplomasi melalui badan intelijen menunjukkan betapa sensitifnya isu ini di mata publik global. Israel tampaknya memilih jalur informal dan tertutup dalam melobi negara-negara yang diharapkan dapat membantu mereka mengurangi beban konflik di Gaza.
Jika tekanan dari Israel terhadap negara-negara tersebut terus berlanjut, risiko ketegangan diplomatik bisa meningkat. Apalagi jika negara-negara yang dilobi tidak secara transparan menyampaikan sikap mereka kepada publik internasional.
Langkah ini sebaiknya dikaji ulang dengan mempertimbangkan prinsip hukum internasional dan perlindungan terhadap pengungsi. Solusi jangka panjang harus mengutamakan penghentian kekerasan dan pemberian hak kembali kepada warga yang terusir dari wilayah mereka sendiri.
Upaya merelokasi secara massal dalam kondisi konflik aktif lebih banyak menimbulkan risiko ketidakstabilan regional. Diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan melibatkan komunitas internasional secara terbuka dalam mencari solusi damai dan berkeadilan. (*)