Teheran ,EKOIN.CO – Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat (AS) kembali meningkat pasca serangan terhadap fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025, di tengah proses perundingan nuklir yang telah berlangsung selama lima putaran. Iran secara tegas menyatakan tak lagi menaruh kepercayaan pada AS dan menyatakan Timur Tengah saat ini sudah jauh lebih tangguh dibandingkan sebelumnya.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Iran Tegaskan Sikap Tegas terhadap Amerika Serikat
Pernyataan keras datang dari Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Larijani, yang menuduh Washington telah merusak kepercayaan melalui pendekatan koersif yang memaksakan pilihan tunduk atau perang kepada negara lain. Ia mengatakan bahwa formula lama AS sudah tidak relevan dalam situasi Timur Tengah yang sedang mengalami transformasi.
Menurut Larijani, wilayah Timur Tengah telah beralih dari ketergantungan pada kekuatan asing menjadi kawasan yang lebih tangguh dan mandiri. Ia menyebut bahwa respons Iran terhadap serangan itu merupakan bagian dari tekad untuk tidak lagi menyerah pada tekanan eksternal.
“Timur Tengah yang baru akan menjadi Timur Tengah yang tangguh,” ujar Larijani dalam wawancaranya dengan kantor berita ISNA pada Sabtu, 12 Juli 2025. Ia juga menekankan bahwa Iran tidak akan membiarkan serangan terhadap fasilitas strategisnya berlalu begitu saja tanpa respons yang tepat.
Lebih lanjut, Larijani menyampaikan bahwa serangan terhadap fasilitas nuklir Iran justru terjadi ketika perundingan nuklir sedang berlangsung. Ini, menurutnya, menunjukkan bahwa AS tidak serius dalam upaya diplomasi dan justru memilih jalur konfrontatif.
Iran Tolak Klaim AS Soal Perundingan
Dalam kesempatan terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baqaei, membantah keras klaim Presiden AS Donald Trump yang menyebut bahwa Iran telah mengajukan permintaan untuk melanjutkan perundingan nuklir. Pernyataan itu, menurut Baqaei, tidak berdasar dan merupakan bentuk manipulasi politik.
“Kami belum mengajukan permintaan apa pun kepada pihak AS terkait pertemuan,” tegas Baqaei dalam keterangan persnya.
Klaim Trump tersebut disampaikan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang dinilai sebagai bagian dari strategi politik Washington untuk menciptakan narasi yang mendukung posisinya di Timur Tengah. Iran menilai langkah ini sebagai bentuk propaganda menjelang agenda strategis AS di kawasan.
Sikap Iran yang semakin keras ini mencerminkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negerinya, dengan penekanan pada kerja sama regional dan kemandirian dari dominasi kekuatan besar. Hal ini terlihat dari semakin eratnya hubungan Iran dengan beberapa negara tetangga yang juga bersikap kritis terhadap intervensi asing.
Pengamat menyebut bahwa dinamika kawasan Timur Tengah tengah bergerak ke arah yang lebih mandiri, dengan negara-negara seperti Iran memimpin inisiatif perlawanan terhadap tekanan dari luar. Perubahan ini dianggap sebagai reaksi atas berbagai pengalaman intervensi dan sanksi yang tidak membawa stabilitas bagi kawasan.
Sejak awal 2025, Iran memang telah menunjukkan kebijakan luar negeri yang lebih agresif, termasuk memperluas pengaruhnya melalui aliansi regional dan penguatan pertahanan. Ketegangan dengan AS bukanlah hal baru, namun serangan terhadap fasilitas nuklir menjadi pemicu utama dalam membentuk narasi baru di Teheran.
Pernyataan Larijani juga mencerminkan keengganan Iran untuk kembali ke meja perundingan tanpa adanya jaminan atas kedaulatan dan keamanan nasional. Ia menyebut bahwa kepercayaan Iran telah dihancurkan oleh tindakan sepihak Washington.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran baru di komunitas internasional yang berharap tercapainya kesepakatan damai terkait program nuklir Iran. Meski demikian, Iran bersikeras bahwa perundingan tidak akan berguna jika dilakukan di bawah ancaman atau tekanan militer.
Dalam beberapa pekan terakhir, Teheran juga meningkatkan komunikasi dengan negara-negara regional untuk memperkuat aliansi strategis sebagai upaya menanggapi tekanan AS. Langkah ini menunjukkan bahwa Iran mulai mengandalkan kekuatan internal kawasan dibandingkan dukungan dari luar.
Para analis memperkirakan bahwa situasi ini akan memperpanjang ketegangan di Timur Tengah, terutama jika tidak ada upaya nyata dari kedua belah pihak untuk meredakan konflik. Serangan terhadap fasilitas nuklir menjadi bukti bahwa jalur diplomatik saat ini berada dalam posisi rapuh.
Sementara itu, AS belum memberikan tanggapan resmi terhadap pernyataan Larijani maupun bantahan Baqaei. Namun berbagai pihak di Washington menyatakan bahwa tekanan terhadap Iran akan tetap menjadi bagian dari kebijakan luar negeri AS.
Dengan meningkatnya tensi ini, banyak negara di kawasan menyarankan pentingnya peran pihak ketiga untuk memediasi dan mencegah eskalasi lebih lanjut. Namun Iran menilai mediasi hanya akan efektif jika dilakukan tanpa keberpihakan.
Kesimpulan dari perkembangan ini menunjukkan adanya polarisasi yang semakin tajam antara Iran dan AS. Kedua negara belum menunjukkan sinyal untuk melunak, bahkan justru memperkuat posisi masing-masing secara terbuka.
Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat kembali mencuat akibat serangan terhadap fasilitas nuklir yang terjadi ketika proses perundingan sedang berjalan. Iran merespons dengan sikap tegas bahwa kepercayaan terhadap AS sudah sepenuhnya hilang. Hal ini menandai perubahan signifikan dalam kebijakan regional Teheran yang kini lebih fokus pada kemandirian dan perlawanan terhadap tekanan asing.
Pernyataan Larijani dan Baqaei menjadi simbol dari transformasi politik Iran dalam menghadapi tekanan global. Sikap ini bukan hanya bentuk protes terhadap serangan, tetapi juga penegasan bahwa Iran tidak lagi ingin tunduk pada pola lama diplomasi Barat. Serangan tersebut telah memperdalam krisis kepercayaan dan memperumit kemungkinan solusi damai.
Dalam konteks kawasan, respons Iran merefleksikan dinamika baru di Timur Tengah. Negara-negara mulai merapatkan barisan secara regional untuk memperkuat daya tawar dan membatasi campur tangan asing. Hal ini bisa memperkuat stabilitas internal kawasan jika berhasil dikelola dengan sinergi yang baik antar negara.
Klaim sepihak dari Amerika Serikat mengenai kelanjutan perundingan dipandang sebagai bagian dari permainan opini publik. Iran secara terbuka menolak pernyataan tersebut dan menyatakan belum pernah mengajukan permintaan resmi untuk kembali ke meja perundingan.
Melihat kompleksitas situasi, pendekatan jangka panjang yang mengedepankan penghormatan terhadap kedaulatan dan keamanan kawasan menjadi hal penting. Eskalasi harus dihentikan melalui langkah diplomatik yang setara dan tidak memaksakan dominasi. Jika tidak, risiko konflik yang lebih luas akan terus membayangi kawasan Timur Tengah.(*)