Teheran EKOIN.CO – Iran dilaporkan menerima sistem rudal permukaan-ke-udara buatan Cina hanya beberapa hari setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata tidak resmi dengan Israel pada 24 Juni 2025. Pengiriman rudal tersebut berlangsung diam-diam dan diyakini menjadi bagian dari upaya Iran memulihkan sistem pertahanan udara yang rusak akibat konflik militer selama hampir dua pekan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut laporan Middle East Eye, sejumlah analis militer menduga bahwa pengiriman dilakukan secara bertahap sejak akhir Juni melalui pelabuhan kecil dan jalur logistik rahasia. Beberapa pelabuhan tersebut diketahui berada di wilayah yang sebelumnya digunakan Iran untuk mengalirkan senjata ke sekutunya di kawasan.
Seorang pejabat Arab, yang tidak disebutkan identitasnya, menyatakan bahwa baterai rudal Cina dikirim sebagai bagian dari pemulihan pertahanan Iran. Ia menegaskan bahwa pengiriman itu terjadi segera setelah gencatan senjata de facto antara Iran dan Israel tercapai.
Transaksi Barter Minyak untuk Rudal
Masih mengacu pada sumber intelijen regional, sistem rudal itu diperoleh Iran melalui mekanisme barter. Alih-alih pembayaran tunai, Iran menggunakan minyak mentah sebagai alat tukar untuk mendapatkan peralatan militer tersebut. Langkah ini diambil karena Iran masih menghadapi sanksi ekonomi berat dari Amerika Serikat.
Iran disebut kesulitan mengakses sistem keuangan internasional. Oleh sebab itu, penjualan minyak secara terselubung, terutama kepada China, menjadi alternatif utama. China sendiri adalah mitra dagang terbesar Iran saat ini.
Data dari Badan Informasi Energi AS (EIA) mencatat bahwa hampir 90 persen ekspor minyak Iran mengalir ke China. Angka ini memperkuat dugaan bahwa Negeri Tirai Bambu memegang peranan penting dalam kesepakatan tersebut.
Minyak Iran dilaporkan dikirim lewat negara ketiga, seperti Malaysia, guna menyamarkan asalnya dan menghindari sanksi. Sumber Arab menyebutkan bahwa Iran menggunakan “cara-cara kreatif” untuk memastikan transaksi tetap berjalan.
Kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa hubungan strategis antara Iran dan China kian erat, terutama dalam menghadapi tekanan geopolitik dan ekonomi dari negara-negara Barat.
Sejarah Panjang Kerja Sama Pertahanan
Hubungan militer antara Iran dan China bukan hal baru. Pada akhir 1980-an, Iran sempat memperoleh rudal jelajah HY-2 Silkworm dari China, yang digunakan dalam Perang Tanker. Senjata itu dipasok melalui Korea Utara.
Hubungan itu semakin menguat setelah kedua negara menandatangani perjanjian kemitraan strategis selama 25 tahun pada 2021. Dalam perjanjian tersebut, China berkomitmen untuk menginvestasikan dana sebesar 400 miliar dolar AS di Iran.
Investasi itu mencakup sektor energi, transportasi, dan infrastruktur. Sebagai imbalannya, Iran menjamin pasokan minyak jangka panjang dengan harga lebih murah dibandingkan harga pasar global.
Kerja sama ini juga dilandasi oleh kesamaan sikap politik. Iran dan China sama-sama menolak dominasi Amerika Serikat dalam tatanan global. Mereka juga mengecam sanksi sepihak dan intervensi asing yang dianggap merusak stabilitas kawasan.
Iran secara aktif bergabung dalam berbagai forum alternatif seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO) dan terus menunjukkan ketertarikan untuk mempererat kerja sama dalam BRICS. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi untuk menantang sistem global yang didominasi oleh dolar AS.
Di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat, hubungan Iran dan China dipandang sebagai poros kekuatan baru yang mendorong terbentuknya dunia multipolar. Aliansi ini menjadi ancaman tersendiri bagi dominasi negara-negara Barat.
Secara keseluruhan, pengiriman rudal ini tidak hanya bersifat taktis, tetapi juga simbolis, karena menunjukkan bahwa Iran mampu tetap memperkuat pertahanannya meskipun di bawah tekanan sanksi dan isolasi internasional.
Keterlibatan Cina dalam kerja sama militer ini pun mencerminkan bahwa negara tersebut bersedia mengambil risiko lebih besar dalam mendukung negara-negara yang menjadi saingan strategis Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.
Meskipun belum ada konfirmasi resmi dari pemerintah Iran maupun Cina, sejumlah pakar meyakini bahwa skema barter minyak untuk senjata ini akan terus berlangsung selama Iran belum memiliki akses penuh ke sistem perbankan global.
Pola transaksi seperti ini, menurut beberapa analis, dapat meningkatkan kompleksitas pengawasan internasional terhadap pelanggaran sanksi dan menambah tantangan bagi upaya diplomatik untuk menekan program militer Iran.
Gencatan senjata antara Iran dan Israel pun kini dilihat hanya sebagai jeda, bukan penyelesaian permanen, apalagi di tengah dinamika geopolitik kawasan yang terus berubah dengan cepat.
langkah Iran memperoleh rudal dari Cina menunjukkan bahwa negara tersebut tetap mampu menjalin kemitraan militer meski berada di bawah sanksi. Dengan mengandalkan ekspor minyak sebagai alat tukar, Iran berhasil menyiasati pembatasan ekonomi dan mempertahankan kekuatan strategisnya.
Kesepakatan ini juga memperlihatkan bahwa Cina kian memainkan peran aktif dalam isu-isu keamanan global, termasuk di kawasan Timur Tengah, di luar kebiasaannya yang cenderung netral. Hal ini bisa mengubah peta aliansi global dalam beberapa tahun ke depan.
Barter rudal dengan minyak antara dua negara itu menjadi cerminan dunia multipolar yang kini mulai terbentuk, di mana negara-negara non-Barat mencoba membangun blok kekuatan baru yang independen dari dominasi Amerika.
Meski pengiriman ini berlangsung secara diam-diam, dampaknya akan sangat terasa pada stabilitas kawasan, terutama jika Iran terus meningkatkan kemampuan pertahanannya dan mempererat hubungan dengan sekutu non-Barat.
Oleh karena itu, perkembangan ini harus diawasi secara seksama oleh komunitas internasional guna mencegah eskalasi baru, baik secara langsung di Timur Tengah maupun dalam arena politik global yang lebih luas.
negara-negara besar perlu meningkatkan diplomasi multilateral yang inklusif guna menjembatani kesenjangan antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Melibatkan Cina dan Iran dalam forum-forum dialog global dapat membuka jalan menuju stabilitas.
Langkah-langkah transparan dalam perdagangan senjata perlu ditingkatkan untuk menghindari penyalahgunaan serta potensi pelanggaran hukum internasional. Mekanisme pengawasan PBB bisa diperkuat guna mengawasi transaksi militer yang berisiko.
Sanksi ekonomi semestinya tidak hanya dijadikan alat tekanan, tetapi juga diiringi oleh jalur diplomasi yang jelas dan terbuka. Negara-negara yang terkena sanksi perlu diberi peluang untuk menunjukkan niat baiknya secara terbuka dan terukur.
Kawasan Timur Tengah harus menjadi fokus utama dalam upaya global mendorong stabilitas jangka panjang. Keterlibatan lebih besar dari kekuatan regional seperti Turki, Mesir, dan bahkan negara-negara Teluk bisa membantu mengurangi dominasi aktor luar.
Terakhir, kerja sama internasional harus mengarah pada pembentukan tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang. Perubahan menuju dunia multipolar hendaknya tidak memicu konflik baru, melainkan mendorong keadilan dan saling menghormati antarnegara.(*)



























