New York EKOIN.CO – Insiden menegangkan pernah terjadi pada 22 Oktober 1995 saat Presiden Soeharto menghadiri sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Saat itu, Soeharto yang menjabat sebagai Wakil Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), menginap bersama rombongan di lantai 41 Hotel Waldorf Towers.
Ketika mengetahui keberadaan Presiden Soeharto di hotel yang sama, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin secara spontan berinisiatif melakukan pertemuan informal. Rabin ingin bertatap muka karena posisi Indonesia saat itu sangat berpengaruh dalam dinamika Timur Tengah.
Namun rencana tersebut diwarnai ketegangan ketika pengawal Rabin bertindak arogan. Saat hendak menuju ke lift, pengawal Rabin menolak dikawal oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Soeharto yang saat itu dipimpin Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin.
Padahal pengawalan oleh Paspampres merupakan bagian dari protokol keamanan yang berlaku di lingkungan Presiden RI. Terlebih lagi, pada saat bersamaan Presiden Soeharto sedang menerima kunjungan Presiden Sri Lanka.
Ketegangan memuncak ketika salah satu agen intelijen Israel, Mossad, terlihat mencabut senjata otomatis dari balik jasnya. Situasi ini memancing reaksi cepat dari Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin yang juga langsung mencabut pistol Bareta dari balik jasnya dan menodongkan ke perut agen Mossad tersebut.
Situasi semakin genting ketika para pengawal lain dari kedua pihak pun turut bersiap dengan senjata masing-masing. Perdana Menteri Rabin yang melihat kondisi memburuk segera bertindak.
Rabin memerintahkan pengawalnya untuk menurunkan senjata mereka. Ia juga meminta maaf kepada Paspampres Soeharto atas tindakan pengawalnya yang tidak sesuai protokol.
Setelah permintaan maaf tersebut, para agen Mossad menuruti perintah dan menurunkan senjata mereka. Keadaan pun berangsur kondusif dan pertemuan informal tetap berlangsung.
Kolonel Sjafrie kemudian mengawal Yitzhak Rabin dan pengawalannya menuju kamar tempat Presiden Soeharto berada. Pertemuan antara Soeharto dan Rabin yang berlangsung tanpa hubungan diplomatik resmi ini berlangsung selama 15 menit.
Menurut laman resmi Kementerian Pertahanan, tidak mengherankan bila Sjafrie yang lahir di Makassar pada 30 Oktober 1952, begitu menghormati Presiden kedua Republik Indonesia itu. Ia dikenal sebagai loyalis militer yang teguh terhadap protokol dan disiplin.
Dalam kegiatan retret Kabinet Merah Putih di Akademi Militer Magelang, Sjafrie juga sempat melakukan ziarah ke Kompleks Makam Astana Giribangun di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Ia memberikan penghormatan kepada almarhum Presiden Soeharto dan Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar.
Ziarah tersebut dilakukan bersama istrinya, Ibu Etty Sjafrie Sjamsoeddin. Kegiatan itu mencerminkan penghormatan mendalam Sjafrie terhadap para tokoh militer senior dan pendahulunya di TNI.
Karier militer Sjafrie terbilang moncer. Setelah menjabat Komandan Grup A Paspampres, ia kemudian dipercaya menjadi Komandan Korem 061/Surya Kencana pada 1995.
Kariernya terus meningkat dengan jabatan sebagai Kepala Staf Garnisun Tetap-1 Jakarta pada 1996, lalu Kasdam Jaya, hingga akhirnya menjabat Pangdam Jaya pada tahun 1997.
Saat Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden RI, Sjafrie kembali dipercaya untuk mengisi posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan. Rekam jejak militer dan pengabdiannya menjadi dasar kepercayaan tersebut.
Sementara itu, Yitzhak Rabin meninggal dunia kurang dari sebulan setelah pertemuan dengan Soeharto. Ia dibunuh oleh Yigal Amir, pemuda Yahudi radikal yang menolak inisiatif perdamaian Rabin dengan Palestina.
Pembunuhan Rabin terjadi pada 4 November 1995 di Tel Aviv, Israel. Peristiwa itu mengejutkan dunia internasional dan mengakhiri karier politik perdamaian yang digagas Rabin.
Pertemuan singkat Soeharto dan Rabin kini menjadi bagian dari catatan sejarah hubungan internasional yang penuh dinamika. Insiden di Hotel Waldorf Towers menggambarkan betapa sensitifnya isu keamanan dan protokol dalam hubungan antarnegara.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Penting untuk menanamkan kesadaran terhadap pentingnya profesionalisme dalam penanganan pengamanan diplomatik. Setiap pengawal negara harus memahami protokol internasional dan bertindak sesuai aturan demi menghindari insiden yang tak diinginkan.
Ketegasan Sjafrie dalam menghadapi situasi tersebut mencerminkan pentingnya keberanian serta kepemimpinan dalam mengambil keputusan cepat. Kesiapan seperti itu sangat dibutuhkan dalam lingkungan kerja yang penuh tekanan.
Situasi ini juga memperlihatkan bahwa hubungan informal antar pemimpin negara tetap harus mengindahkan aspek protokol dan tata krama diplomasi. Hal sekecil apa pun dapat berkembang menjadi situasi genting jika tidak ditangani dengan bijak.
Keberanian dan kehati-hatian harus berjalan beriringan dalam lingkungan pengamanan pemimpin negara. Sejarah membuktikan bahwa satu kesalahan kecil bisa berdampak besar pada hubungan internasional.
Sebagai pelajaran, setiap negara perlu memperkuat kerja sama dan pemahaman lintas budaya dalam sistem pengamanan mereka. Komunikasi yang terbuka dan kesadaran terhadap nilai-nilai bersama dapat mencegah munculnya konflik dalam interaksi internasional.(*)