Khan Younis EKOIN.CO – Seorang pejabat tinggi Hamas menolak pernyataan mengenai kemajuan dalam perundingan gencatan senjata di Gaza, seraya menegaskan bahwa militer Israel belum menunjukkan rencana konkret untuk menarik pasukannya dari wilayah Palestina tersebut. Pernyataan itu disampaikan oleh Bassem Naim, anggota biro politik Hamas, dalam wawancaranya dengan AFP pada Rabu (17/7/2025).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Naim, hingga kini pihak Israel belum memberikan peta baru atau revisi terkait penarikan militer dari Jalur Gaza. Ia menuding bahwa Israel berupaya memperpanjang pendudukan militernya di Gaza untuk jangka panjang. “Israel belum menyerahkan peta baru atau revisi apa pun terkait penarikan militer dari Jalur Gaza,” ujar Naim.
Kementerian Luar Negeri Palestina juga menyampaikan keprihatinan serupa. Mereka memperingatkan bahwa rencana Israel membentuk poros militer baru dari timur ke barat Khan Younis bertujuan memecah belah wilayah Gaza dan memaksa pengungsian warga Palestina melalui konsep ‘kota tenda’.
Pernyataan kementerian tersebut dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, yang juga mengabarkan bahwa 70 persen bangunan di Gaza telah rusak akibat serangan Israel. Mereka menyalahkan militer Israel atas kerusakan luas itu dan menuduhnya memanfaatkan perang untuk membuat Gaza tidak layak huni.
Kementerian itu juga mengkritik tidak adanya respons global yang memadai terhadap situasi tersebut. Mereka mempertanyakan ketulusan berbagai upaya kemanusiaan dan bantuan internasional yang selama ini diklaim berpihak pada korban perang.
Sementara itu, kekerasan terbaru kembali menewaskan puluhan warga Palestina di Khan Younis. Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), yang disebut-sebut didukung oleh Israel dan Amerika Serikat, melaporkan sedikitnya 21 orang tewas di lokasi distribusi bantuan makanan.
Namun, Kementerian Kesehatan Gaza membantah laporan itu dan menyatakan bahwa 15 dari korban meninggal dunia akibat sesak napas serta berdesakan, setelah pasukan Israel menembakkan gas air mata ke arah warga yang mengantre bantuan.
Wafa, mengutip petugas medis di lokasi kejadian, menyebutkan bahwa pasukan Israel juga menembakkan peluru tajam ke arah ribuan orang yang berkumpul di lokasi tersebut. Banyak dari mereka mengalami luka-luka serius atau tewas seketika akibat tembakan langsung.
Koridor militer sebagai dalih penundaan gencatan
Menurut laporan militer Israel, koridor militer yang disebut Magen Oz kini membentang sejauh 15 kilometer dan memisahkan bagian timur dan barat Khan Younis. Koridor ini disebut berfungsi sebagai jalur strategis dalam menghancurkan kekuatan Hamas di wilayah tersebut.
Pemerintah Israel menyebut bahwa keberadaan koridor ini penting untuk menekan Hamas, terutama Brigade Khan Younis yang masih aktif melakukan perlawanan. “Koridor ini menjadi komponen kunci dalam menekan Hamas dan mencapai kekalahan telak Brigade Khan Younis,” kata pernyataan militer Israel.
Namun, penggunaan koridor ini juga digunakan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menunda proses negosiasi gencatan senjata. Netanyahu bersikeras mempertahankan koridor tersebut demi melanjutkan operasi militer di Gaza.
Sementara itu, Hamas menyatakan telah menerima proposal gencatan senjata sebelumnya dan menuntut penarikan penuh tentara Israel dari seluruh wilayah Gaza sebagai syarat utama perdamaian.
Selain Magen Oz, Israel juga telah membentuk tiga poros militer lainnya yaitu poros Netzarim yang memisahkan Gaza utara, Koridor Philadelphia di perbatasan Gaza-Mesir, serta poros Morag yang membatasi wilayah Rafah dan Khan Younis.
Ketiga poros tersebut dinilai oleh kelompok HAM dan lembaga internasional telah membatasi akses bantuan kemanusiaan, serta memperburuk kondisi pengungsi yang kini tersebar di berbagai lokasi darurat di Gaza.
Banyak warga Gaza kini tinggal di ‘kota tenda’ yang dibentuk di sekitar lokasi pengungsian. Namun, para aktivis menilai konsep ini sebagai cara lain untuk memaksa eksodus massal dari tanah Palestina yang telah lama dihuni oleh generasi demi generasi.
Hingga saat ini, belum ada kemajuan signifikan dalam negosiasi antara kedua pihak. Mediator internasional yang berusaha menjembatani dialog pun mengalami kesulitan karena sikap keras Israel dalam mempertahankan posisinya.
Sementara jumlah korban jiwa terus bertambah setiap hari, organisasi-organisasi kemanusiaan semakin sulit menyalurkan bantuan karena pembatasan yang diberlakukan di sepanjang poros militer tersebut.
Situasi di Gaza semakin memburuk akibat tidak adanya kesepakatan damai yang konkret. Rakyat Palestina terus menderita di tengah blokade, kekerasan bersenjata, dan pengungsian yang belum menemui ujung.
Pemerintah Israel diharapkan membuka ruang negosiasi yang lebih terbuka, serta mempertimbangkan dampak kemanusiaan yang ditimbulkan oleh operasi militer berkelanjutan di Gaza.
Komunitas internasional perlu memperkuat tekanan diplomatik terhadap kedua pihak agar segera mencapai solusi jangka panjang yang adil dan damai.
Sementara itu, lembaga-lembaga bantuan dan kemanusiaan diminta tetap konsisten menjalankan perannya, sekalipun dalam keterbatasan dan ancaman keamanan yang sangat tinggi.
Diperlukan pendekatan politik dan kemanusiaan secara bersamaan untuk mencegah tragedi yang lebih luas di wilayah tersebut. (*)