JAKARTA, EKOIN.CO – Dukungan sejumlah negara Muslim terhadap keberadaan Israel di Timur Tengah terus menjadi sorotan dalam percaturan geopolitik kawasan. Meski mayoritas negara Islam menolak normalisasi, setidaknya enam negara dengan populasi mayoritas Muslim kini telah menjalin hubungan formal dengan Israel. Fenomena ini menegaskan adanya dinamika kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan yang lebih kompleks dari sekadar isu ideologis tentang Palestina.
Gabung WA Channel EKOIN di sini
Keberadaan Israel yang sejak awal ditentang oleh sebagian besar dunia Islam, pada kenyataannya tetap menemukan ruang legitimasi lewat hubungan resmi dengan negara-negara tetangga. Hubungan ini tidak selalu didorong oleh dukungan rakyat, melainkan hasil kalkulasi politik pemerintah masing-masing.
Mesir dan Yordania: Pionir Hubungan dengan Israel
Mesir menjadi pelopor normalisasi setelah menandatangani Perjanjian Camp David pada 1978 yang disusul Perjanjian Damai Mesir–Israel pada 1979. Langkah ini menjadikan Mesir sebagai negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui Israel secara resmi. Sejak itu, kerja sama kedua negara meliputi bidang keamanan di perbatasan Sinai serta kolaborasi ekonomi lintas sektor.
Meski demikian, masyarakat Mesir masih memperlihatkan solidaritas kuat terhadap perjuangan Palestina. Kondisi ini membuat pemerintah Mesir kerap menghadapi kritik domestik atas hubungan yang dijalinnya dengan Israel.
Yordania mengikuti jejak Mesir melalui Perjanjian Wadi Araba pada 1994. Perjanjian ini membuat Yordania menjadi negara Arab kedua yang secara terbuka memiliki hubungan resmi dengan Israel. Stabilitas perbatasan dan pengelolaan sumber daya air menjadi alasan utama kerja sama tersebut. Sama seperti Mesir, Yordania juga menghadapi dilema antara kebijakan luar negeri dan aspirasi rakyatnya yang tetap pro-Palestina.
Gelombang Baru Normalisasi di Timur Tengah
Selain Mesir dan Yordania, gelombang normalisasi meningkat pada 2020 melalui Abraham Accords yang diprakarsai Amerika Serikat. Kesepakatan ini membawa Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko masuk dalam jajaran negara Muslim yang menjalin hubungan resmi dengan Israel.
UEA menekankan kerja sama teknologi, investasi, hingga pertahanan. Bahrain menyusul dengan alasan stabilitas kawasan, sementara Sudan diharapkan memperoleh akses ekonomi dan pencabutan sanksi internasional. Maroko menekankan kerja sama keamanan dan pariwisata, dengan imbalan pengakuan AS atas kedaulatan Maroko atas Sahara Barat.
Bagi Israel, normalisasi ini menjadi terobosan besar yang memperluas jejaring diplomasi dan mengurangi isolasi regional. Bagi negara-negara Muslim terkait, hubungan ini dilihat sebagai langkah pragmatis untuk menjaga kepentingan strategis masing-masing.
Namun, dukungan resmi pemerintah tidak serta-merta mencerminkan sikap rakyat. Demonstrasi penolakan sering muncul di berbagai negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Hal ini menegaskan adanya jurang antara kepentingan elit politik dengan aspirasi masyarakat.
Dinamika ini memperlihatkan betapa isu Palestina masih menjadi sentral dalam politik identitas dunia Islam. Meski ada hubungan diplomatik, solidaritas publik terhadap Palestina tetap mengakar kuat dan memengaruhi lanskap politik domestik maupun regional.
Langkah sejumlah negara Muslim mendukung keberadaan Israel juga menimbulkan konsekuensi strategis di Timur Tengah. Negara-negara yang menolak normalisasi, seperti Iran, Turki, dan Qatar, semakin keras menyuarakan penentangan. Perpecahan sikap ini menambah kompleksitas konflik di kawasan yang sudah rapuh oleh perang, krisis kemanusiaan, dan perebutan pengaruh kekuatan global.
Fenomena ini diprediksi masih akan berlanjut. Faktor geopolitik, tekanan ekonomi, dan aliansi internasional kemungkinan terus mendorong sebagian negara Muslim untuk tetap menjalin hubungan dengan Israel, meski harus berhadapan dengan tekanan internal dari rakyatnya sendiri.
Dalam konteks ini, dukungan negara-negara Muslim terhadap Israel lebih banyak mencerminkan realitas politik praktis ketimbang kesepakatan moral atau ideologis. Isu Palestina pun tetap menjadi batu uji utama dalam menilai ketulusan komitmen negara-negara tersebut di mata dunia Islam.
Hubungan sejumlah negara Muslim dengan Israel menunjukkan realitas politik Timur Tengah yang sangat kompleks. Normalisasi hubungan lebih didorong oleh kepentingan strategis daripada solidaritas ideologis.
Fenomena ini menegaskan adanya pergeseran arah kebijakan luar negeri di beberapa negara Muslim. Faktor ekonomi, keamanan, dan tekanan internasional menjadi alasan utama.
Meski begitu, solidaritas masyarakat terhadap Palestina tetap kuat. Penolakan rakyat terhadap normalisasi mencerminkan adanya ketegangan antara elit politik dan aspirasi publik.
Konflik Palestina–Israel pun masih akan menjadi titik sensitif dalam percaturan politik kawasan. Dukungan formal terhadap Israel bukan berarti meredupkan perlawanan Palestina.
Ke depan, kesenjangan antara diplomasi resmi dan aspirasi rakyat perlu menjadi perhatian serius agar stabilitas kawasan dapat terjaga tanpa mengorbankan hak-hak Palestina. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v