SLEMAN, EKOIN.CO – Petani milenial di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berhasil melakukan ekspor perdana sebanyak sembilan ton cabai rawit ke Jepang. Langkah ini diambil untuk menjaga harga cabai domestik agar tetap di atas break even point (BEP) di tengah anjloknya harga di pasaran.
(Baca Juga: Ekspor Cabai Indonesia ke Asia)
Direktur PT Petani Milenial Sleman, Ardhi Prasetyo, menyampaikan bahwa pengiriman cabai rawit varietas khusus ini dilakukan pada 7 Agustus lalu. Ke depan, pihaknya juga berencana memperluas pasar ke beberapa negara di Asia dan Timur Tengah. Menurutnya, ekspor ini tak hanya menambah devisa negara, tetapi juga menjadi strategi pengendalian harga cabai di tingkat petani.
“Kami tidak ingin petani merugi. Maka, kami membeli cabai di atas BEP untuk kemudian dipasarkan ke luar negeri,” ujar Ardhi di Sleman, Senin (12/8/2025).
Ekspor Cabai Dorong Stabilitas Harga
Beberapa waktu terakhir, harga cabai rawit di pasaran domestik anjlok hingga Rp17.000 per kilogram, mendekati titik impas bagi petani. PT Petani Milenial Sleman mengambil langkah berani dengan membeli cabai dari petani seharga Rp20.000 per kilogram untuk kemudian diekspor.
(Baca Juga: Strategi Petani Atasi Harga Anjlok)
Strategi ini diharapkan mampu menjaga harga cabai lokal tetap stabil. Dengan menahan suplai berlebih di pasar dalam negeri dan menyalurkannya ke luar negeri, petani tetap memperoleh keuntungan meski harga sedang lesu.
Menurut Ardhi, langkah ini terbukti efektif. Begitu harga di pasar lokal kembali membaik, pasokan ekspor dapat disesuaikan agar suplai domestik mencukupi tanpa memicu lonjakan harga yang merugikan konsumen.
Pemberdayaan Petani dan Masyarakat Lokal
CEO PT Petani Milenial Sleman, Isnaini Baroroh, menambahkan bahwa pengumpulan cabai untuk ekspor didukung oleh truk baru hasil program tanggung jawab sosial (CSR) dari Bank Indonesia. Fasilitas ini memungkinkan timnya menyerap hingga sembilan ton cabai per minggu dari petani Sleman dan daerah sekitarnya.
(Baca Juga: Dukungan Bank Indonesia untuk Petani)
“Dalam satu minggu, kami targetkan minimal satu ton cabai per hari yang kami ambil langsung dari petani bekerja sama dengan PPHPM dan Champion Cabai Indonesia,” ungkap Isnaini.
Selain itu, proses pascapanen dilakukan dengan ketat untuk memenuhi standar mutu ekspor. Salah satu tahap penting adalah petik tangkai, yang dikerjakan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) dan warga setempat. Hal ini memberikan tambahan penghasilan bagi ibu rumah tangga di beberapa desa.
Kolaborasi antara petani, KWT, dan pihak swasta ini menunjukkan bahwa rantai produksi cabai bisa dikelola secara inklusif, dengan manfaat ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal.
(Baca Juga: Pemberdayaan Warga Melalui Hortikultura)
Ekspor cabai rawit Sleman ke Jepang menjadi langkah strategis untuk menjaga stabilitas harga di pasar lokal sekaligus memperluas pasar internasional. Langkah ini juga membuktikan bahwa kolaborasi petani, pihak swasta, dan lembaga keuangan dapat mendorong kemandirian ekonomi daerah.
Pemerintah daerah dan pusat dapat memberikan dukungan berupa fasilitas logistik, pendampingan teknis, dan promosi pasar agar komoditas hortikultura Indonesia, khususnya cabai, semakin kompetitif di pasar global.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























