Jakarta EKOIN.CO – Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengingatkan pemerintah agar waspada terhadap potensi risiko dari kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke lima bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Langkah ini, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025, bertujuan menambah likuiditas perbankan untuk mendorong sektor riil. Gabung WA Channel EKOIN di sini.
Risiko Likuiditas dan Stabilitas Makro
Achmad menilai kebijakan ini memang inovatif karena menghubungkan surplus likuiditas dengan kebutuhan riil. Namun, ia menekankan perlunya kewaspadaan karena terdapat sejumlah risiko yang bisa berdampak luas.
“Bila likuiditas dan dana pemerintah dipakai terlalu agresif tanpa memperlihatkan defisit, utang, dan inflasi, ini bisa mengguncang stabilitas makro,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Ahad, 14 September 2025.
Risiko pertama yang disorot adalah ketergantungan pada kebijakan fiskal yang ekspansif tanpa pembiayaan yang sehat. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan beban jangka panjang bagi keuangan negara.
Risiko kedua berkaitan dengan potensi inflasi. Menurut Achmad, penyaluran kredit dalam jumlah besar memang bisa mempercepat pertumbuhan, tetapi jika kapasitas produksi nasional tidak segera ditingkatkan, tekanan inflasi akan sulit dihindari.
Ia juga menambahkan risiko lain, yakni ketika daya beli masyarakat tidak tumbuh sejalan dengan ketersediaan kredit. “Akhirnya suplai likuiditas perbankan tidak ada gunanya atau sia-sia, dan malah menjadi mainan baru para eksekutif perbankan untuk memperkaya diri,” kata Achmad.
Dana Pemerintah dan Penyaluran Kredit
Dana Rp200 triliun itu ditempatkan di lima bank Himbara: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Rinciannya, BRI, BNI, dan Mandiri masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN mendapat Rp25 triliun, dan BSI memperoleh Rp10 triliun.
Penempatan dana dilakukan dalam bentuk deposito on call konvensional maupun syariah, dengan mekanisme tanpa lelang. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, skema ini memungkinkan pemerintah menarik dana kapan saja jika dibutuhkan.
Purbaya optimistis penempatan dana tersebut akan memacu penyaluran kredit perbankan. “Kalau dia (bank) enggak pakai, dia rugi sendiri. Kan ada cost sekitar 4 persen. Kalau enggak menyalurkan kredit, kan dia harus bayar cost. Mereka pasti akan berpikir keras untuk menyalurkan dana itu,” ucapnya pada Jumat, 12 September 2025.
Menurutnya, mekanisme tersebut akan membuat bank terdorong untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor produktif, sehingga dapat membantu memulihkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Meski begitu, peringatan ekonom UPN dianggap penting untuk memastikan kebijakan tidak membawa dampak negatif di kemudian hari. Sebab, efektivitas penempatan dana sangat bergantung pada kesiapan perbankan, kondisi daya beli masyarakat, dan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan.
Kebijakan ini sekaligus menjadi ujian bagi sinergi antara pemerintah dan sektor perbankan dalam menjaga keseimbangan antara dorongan pertumbuhan ekonomi dan kontrol risiko fiskal.
Pada akhirnya, pengawasan ketat dan evaluasi berkala diperlukan agar tujuan penempatan dana Rp200 triliun benar-benar tercapai tanpa menimbulkan gejolak baru di sektor keuangan maupun perekonomian nasional. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























