Jakarta EKOIN.CO – Diskusi pra-Konferensi Cabang (Konfercab) Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jakarta Selatan pada Rabu (2/10) menyoroti tajam soal reformasi kepolisian. Dalam forum bertajuk “Reformasi Kepolisian: Menegakkan Kembali Supremasi Sipil atau Mempertahankan Kekuasaan”, para narasumber menilai institusi kepolisian kian menjauh dari cita-cita reformasi, bahkan dianggap menjadi alat status quo. Kata kunci yang terus disuarakan sepanjang diskusi adalah reformasi kepolisian.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sorotan atas Kepemimpinan Polri
Diskusi di sekretariat DPC GMNI Jaksel tersebut menghadirkan narasumber dari berbagai latar, mulai dari akademisi hingga aktivis. Mereka adalah Antonius Danar dari Strategi Institute, pengamat politik Ray Rangkuti, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Prof. Muradi, serta Romo Setyo dari Gerakan Nurani Bangsa. Acara dipandu oleh kader GMNI, Lotfy Konyora.
Romo Setyo menegaskan, reformasi kepolisian tidak bisa hanya dilakukan di level teknis. Menurutnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah menjadi habitus di tubuh Polri. “Yang esensial dari reformasi kepolisian harus dilihat dari aspek kultural dan struktural. Habitus KKN sudah mengakar. Perubahan tidak bisa sekadar administratif, melainkan harus melalui tekanan sejarah dan revolusi pemikiran,” ujarnya.
Prof. Muradi menyoroti empat krisis besar yang pernah mengguncang kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yakni kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, kasus narkoba Teddy Minahasa, dan kematian seorang pengemudi ojek online. Menurutnya, rentetan kasus tersebut menunjukkan persoalan Polri bersifat struktural.
“Empat gelombang krisis itu seharusnya menjadi pelajaran bahwa masalah kepolisian bukan sekadar oknum, melainkan struktural. Persoalan pengawasan masih lemah, Kompolnas tidak memiliki kekuatan yang memadai,” tegas Muradi. Ia juga mengusulkan pembatasan jabatan Kapolri maksimal tiga tahun, memperkuat Kompolnas dengan kewenangan nyata, serta membatasi peran polisi aktif di jabatan sipil.
DPR, Utang Politik, dan Aktivis
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti menilai lemahnya desain institusional kepolisian turut dipengaruhi mekanisme fit and proper test di DPR. Menurutnya, proses itu justru melahirkan pimpinan Polri dengan banyak utang budi politik.
“Reformasi kepolisian harus dimulai dengan mencopot Kapolri. Selama empat tahun terakhir, citra Polri makin terpuruk, bahkan muncul narasi ‘Parcok’ terkait dugaan keterlibatan polisi dalam pemilu dan pilkada,” kata Ray.
Ia juga mengecam kriminalisasi terhadap lebih dari 900 aktivis yang terjadi beberapa waktu lalu. “Bagi polisi, aktivis lebih berbahaya dari koruptor. Ini menunjukkan keberpihakan Polri bukan pada rakyat, melainkan pada penguasa dan kapital,” ujarnya.
Antonius Danar menambahkan, perubahan yang paling penting justru berada di ranah kultural. Ia mengutip pernyataan Gus Dur yang menyebut hanya ada tiga polisi baik: “Polisi Tidur, Jenderal Hoegeng, dan Patung Polisi.” Pandangan ini, menurutnya, menjadi cermin mendalam atas tantangan reformasi kepolisian di Indonesia.
Diskusi GMNI Jaksel ini menegaskan perlunya desakan publik untuk mengawal transformasi kepolisian agar kembali pada cita-cita reformasi 1998. Sebab tanpa reformasi mendasar, kepolisian dikhawatirkan semakin menjauh dari rakyat dan terus berada dalam lingkaran kekuasaan serta modal.
Diskusi yang digelar GMNI Jaksel memperlihatkan bahwa reformasi kepolisian masih menjadi pekerjaan besar. Banyak pihak menilai perubahan tidak bisa lagi bersifat administratif, tetapi harus menyentuh aspek struktural dan kultural.
Para narasumber menekankan bahwa tanpa perubahan mendasar, Polri berisiko semakin terjebak dalam praktik KKN. Hal ini dianggap berbahaya karena menjauhkan polisi dari fungsi idealnya sebagai pengayom masyarakat.
Krisis yang berulang dalam institusi Polri menjadi cermin lemahnya pengawasan. Usulan seperti memperkuat Kompolnas hingga membatasi jabatan Kapolri dianggap sebagai langkah awal menuju reformasi yang lebih nyata.
Keterlibatan politik dalam seleksi pimpinan Polri dinilai semakin memperumit situasi. Jika tidak diatasi, kepolisian akan tetap menjadi instrumen kekuasaan, bukan pelindung masyarakat.
Publik didorong untuk terus mendesak agenda reformasi kepolisian demi mengembalikan marwah hukum dan supremasi sipil di Indonesia. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v