Naypyidaw EKOIN.CO – Pemerintah militer Myanmar menyatakan kegembiraannya atas surat tarif dari mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang akan memberlakukan tarif 40 persen terhadap ekspor Myanmar ke AS mulai 1 Agustus 2025. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Panglima Militer sekaligus penguasa junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam keterangannya, Min Aung Hlaing mengungkapkan bahwa dirinya merasa terhormat telah menerima surat dari Trump tersebut. Surat itu dipandang bukan sebagai tekanan atau ancaman, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap Myanmar.
“Surat minggu ini diutarakan sebagai undangan yang menggembirakan untuk terus berpartisipasi dalam Ekonomi Amerika Serikat yang luar biasa,” ujar Min Aung Hlaing, dikutip dari CNN World, Sabtu (12/7/2025).
Jenderal tersebut menyebut surat dari Trump akan ditindaklanjuti secara serius. Pemerintah junta berencana mengirimkan tim negosiasi tingkat tinggi ke Amerika Serikat dalam waktu dekat untuk membahas tarif tersebut lebih lanjut.
Myanmar juga meminta agar Amerika Serikat mempertimbangkan kembali sanksi ekonomi yang selama ini diberlakukan. Menurut Min Aung Hlaing, sanksi itu justru merugikan kepentingan bersama kedua negara.
“Karena sanksi tersebut menghambat kepentingan bersama dan kemakmuran kedua negara dan rakyatnya,” katanya dalam pernyataan tertulis.
Sambutan Positif Myanmar atas Tarif Ekspor
Pernyataan Min Aung Hlaing menunjukkan adanya keinginan kuat dari junta Myanmar untuk tetap menjalin hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat meski berada di bawah sanksi internasional. Ia bahkan memuji kepemimpinan Trump secara terbuka dalam surat balasannya.
Ia menggambarkan Trump sebagai sosok pemimpin yang membawa negaranya menuju kemakmuran nasional dan memiliki semangat patriotisme yang tinggi. Di sisi lain, ia juga menyoroti posisi Trump dalam konflik politik Amerika.
“Serupa dengan tantangan yang dihadapi Presiden selama pemilu Amerika Serikat tahun 2020, Myanmar juga mengalami kecurangan pemilu yang besar dan penyimpangan yang signifikan,” ujar Min Aung Hlaing.
Referensi ini ditujukan pada pemilu Myanmar tahun 2020 yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi. Kemenangan tersebut kemudian digugat militer dengan tuduhan kecurangan, meski pengamat internasional menyatakan pemilu tersebut berlangsung adil.
Tak lama setelah pemilu, militer melancarkan kudeta yang mengakhiri masa demokrasi Myanmar selama satu dekade. Kudeta ini menjerumuskan negara tersebut ke dalam perang saudara yang masih berlangsung hingga saat ini.
Konflik Internal dan Isolasi Internasional
Situasi dalam negeri Myanmar memburuk sejak kudeta militer pada awal 2021. Kelompok pejuang pro-demokrasi dan pasukan etnis bersenjata terus melakukan perlawanan terhadap pasukan junta di berbagai wilayah negara.
Sementara itu, masyarakat internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi manusia, menuduh militer Myanmar melakukan pelanggaran berat terhadap warga sipil dan kejahatan perang.
Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa telah menjatuhkan berbagai sanksi terhadap pejabat militer Myanmar, termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan. Hubungan diplomatik dengan negara tersebut pun dibatasi.
Sebagian besar negara Barat tidak lagi menempatkan duta besar resmi mereka di Myanmar, dan pemerintah junta tidak diakui sebagai pemerintah sah. Ini menciptakan isolasi diplomatik yang semakin memperburuk posisi Myanmar di panggung internasional.
Namun demikian, surat dari Trump tampaknya memberikan celah bagi junta untuk kembali menjalin dialog dengan kekuatan ekonomi besar dunia, meski dilakukan dalam konteks yang tidak biasa.
Min Aung Hlaing tidak menjelaskan secara rinci isi surat dari Trump, namun pernyataannya menunjukkan niat terbuka untuk menjalin komunikasi yang lebih erat, meski melalui jalur ekonomi.
Ia juga menggunakan kesempatan ini untuk menarik simpati Trump dengan menyebut kesamaan kondisi politik pasca pemilu di Myanmar dan Amerika Serikat, meski pernyataan itu tidak mendapat dukungan dari pengamat internasional.
Saat ini, Aung San Suu Kyi masih ditahan oleh junta militer dan menjalani hukuman penjara selama 27 tahun. Persidangan yang menjatuhkan vonis tersebut digelar secara tertutup dan dikritik luas oleh komunitas internasional sebagai bentuk pembungkaman politik.
Pihak militer tetap menolak seruan internasional untuk membebaskan Suu Kyi maupun menggelar pemilu baru yang bebas dan adil. Junta juga terus memperkuat kekuasaan di tengah tekanan global yang semakin meningkat.
Meskipun begitu, tanggapan positif Myanmar terhadap surat tarif dari Trump menunjukkan adanya strategi baru dari junta untuk mencari peluang ekonomi, sekaligus celah legitimasi di tingkat global.
Myanmar belum memberikan jadwal pasti kapan delegasi akan dikirim ke AS, namun pernyataan resmi menyebutkan bahwa diskusi ekonomi akan menjadi prioritas dalam kunjungan tersebut.
Kesediaan Myanmar untuk berdialog meski di tengah sanksi berat menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi nasional yang terpukul akibat isolasi dan konflik internal.
Kehadiran surat dari Trump dinilai memberikan kesempatan baru bagi junta untuk keluar dari tekanan internasional melalui pendekatan ekonomi, bukan melalui pengakuan politik yang formal.
Dalam konteks ini, respons Min Aung Hlaing terhadap surat tersebut dinilai mencerminkan upaya junta untuk memanfaatkan setiap peluang guna mempertahankan eksistensinya di tengah sorotan dunia.
dari rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa junta Myanmar masih terus mencari celah dukungan dari tokoh dunia yang dapat memperkuat posisi mereka di kancah internasional.
Meskipun langkah ini tidak serta-merta mengubah posisi negara-negara Barat terhadap Myanmar, tetapi menunjukkan bahwa junta tidak menutup kemungkinan negosiasi jika ada peluang ekonomi yang ditawarkan.
Surat tarif dari Trump menjadi pintu awal kemungkinan dialog baru antara junta Myanmar dan AS, meski sifatnya terbatas pada isu perdagangan dan tidak menyentuh isu politik atau HAM.
Situasi ini memperlihatkan bahwa kebijakan luar negeri bisa dimanfaatkan sebagai instrumen tekanan maupun peluang, tergantung pada bagaimana pihak yang terlibat memaknainya.
Namun, komunitas internasional tetap dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan sanksi terhadap pelanggaran HAM dengan peluang diplomatik yang terbuka melalui jalur ekonomi.
negara-negara besar sebaiknya mempertimbangkan kembali strategi diplomasi mereka terhadap Myanmar, agar tetap tegas terhadap pelanggaran HAM, namun terbuka terhadap pendekatan multilateral.
PBB dan lembaga internasional perlu mengintensifkan pemantauan terhadap kebijakan junta, terutama jika muncul indikasi pemanfaatan jalur ekonomi untuk mendapatkan legitimasi politik.
Masyarakat sipil global juga diharapkan untuk terus menyuarakan solidaritas terhadap rakyat Myanmar yang terus menghadapi represi dan kekerasan dari militer.
Diplomasi ekonomi sebaiknya tidak mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi, agar tidak menjadi celah bagi rezim otoriter untuk memperkuat kekuasaannya.
Terakhir, komunitas internasional harus meningkatkan koordinasi dalam membangun pendekatan yang lebih komprehensif, agar tekanan ekonomi yang diberikan tidak justru dimaknai sebagai dukungan terselubung.(*)