Jakarta EKOIN.CO – Gagalnya negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait pengenaan tarif impor sebesar 32 persen menuai kritik keras dari lembaga kajian ekonomi. Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut kegagalan itu sebagai sinyal buruk bagi arah kebijakan ekonomi dan diplomasi luar negeri Indonesia.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam mencapai kesepakatan mencerminkan lemahnya strategi dan koordinasi lintas kementerian. Hal ini, menurutnya, dapat mengganggu kepercayaan investor dan memperlemah posisi tawar Indonesia di forum internasional.
Celios mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera melakukan perombakan kabinet, terutama pada pos-pos strategis yang berkaitan langsung dengan kebijakan ekonomi luar negeri. Menurut Bhima, momen ini bisa menjadi titik balik dalam memperbaiki performa pemerintah.
Negosiasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto disebut telah menawarkan berbagai konsesi kepada pemerintah Amerika Serikat. Tawaran itu meliputi produk LNG, LPG, minyak mentah, gandum, hingga kerja sama pembelian pesawat Boeing.
Meski berbagai tawaran telah disodorkan, Amerika Serikat tetap bersikukuh menetapkan tarif impor yang signifikan terhadap produk-produk asal Indonesia. Kebijakan ini dinilai sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik ketimbang murni pertimbangan perdagangan.
“Keputusan Washington cenderung dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik daripada hanya sekadar transaksi dagang,” ungkap Bhima dalam pernyataan resminya pada Selasa, 8 Juli 2025.
Dorongan Evaluasi Kabinet
Bhima juga mengkritik strategi negosiasi yang terlalu fokus pada pembukaan impor produk energi dari AS, dengan nilai mencapai 15,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp259,5 triliun. Ia menilai pendekatan ini justru berisiko memperdalam defisit sektor migas Indonesia dalam jangka panjang.
Ia menekankan bahwa perlu adanya perombakan kabinet untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung global. “Jika Indonesia ingin memperkuat posisi globalnya, perombakan kabinet adalah langkah yang tidak bisa ditunda,” tegas Bhima.
Menteri Airlangga dinilai gagal merancang strategi ekonomi luar negeri yang efektif. Bhima juga menyebut bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani, meski dikenal teknokratik, kini kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis pemerintahan.
Selain itu, ia menilai Menteri Luar Negeri Sugiono hanya menjalankan fungsi simbolis dan kurang berkontribusi secara substansial dalam diplomasi luar negeri Indonesia di tengah ketegangan geopolitik dunia.
Dampak Ekonomi Serius
Menurut studi Celios, pengenaan tarif 32 persen akan berdampak besar terhadap sektor padat karya di Indonesia. Sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, dan produk ekspor lain diperkirakan mengalami tekanan serius akibat kebijakan tarif tersebut.
Diproyeksikan, sekitar 1,2 juta pekerja berpotensi kehilangan pekerjaan akibat terganggunya ekspor ke pasar Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan dampak yang sangat signifikan terhadap stabilitas ketenagakerjaan nasional.
Selain kehilangan pekerjaan, nilai ekspor Indonesia diperkirakan turun sebesar Rp105,98 triliun. Sementara itu, pendapatan masyarakat diproyeksikan terkoreksi hingga Rp143,87 triliun sebagai imbas dari penurunan permintaan pasar.
Jika kebijakan tarif resiprokal resmi diberlakukan pada 1 Agustus 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan besar hanya akan berada pada kisaran 4,7 hingga 4,8 persen secara tahunan.
Melihat berbagai dampak tersebut, Celios meminta Presiden Prabowo Subianto segera melakukan evaluasi mendalam terhadap kinerja kementerian terkait, dan memilih figur yang memiliki kapasitas dan pemahaman mendalam mengenai perdagangan global.
Bhima menambahkan, Indonesia membutuhkan diplomat dan ekonom yang mampu membaca dinamika internasional secara strategis. Kebijakan luar negeri yang kuat dinilai menjadi kunci untuk mempertahankan kepentingan nasional di tengah perubahan geopolitik global.
Ia menegaskan bahwa reshuffle kali ini tidak boleh sebatas kosmetik politik. Langkah itu perlu menjadi momentum penyelarasan ulang arah pemerintahan yang lebih strategis dan berorientasi global.
Bhima menutup dengan peringatan bahwa kegagalan seperti ini bisa menjadi preseden buruk jika tidak segera direspon. Indonesia, menurutnya, bisa tertinggal jauh di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Celios pun mengingatkan pentingnya membangun tim ekonomi yang solid dan terintegrasi. Tanpa koordinasi yang kuat, berbagai kebijakan luar negeri akan sulit terimplementasi secara optimal.
Sebagai tambahan, Celios berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam menawarkan konsesi dagang kepada negara mitra. Pasalnya, kebijakan yang tidak tepat justru bisa memperlemah posisi ekonomi domestik.
Langkah konkret harus segera ditempuh agar Indonesia tidak terus mengalami kerugian ekonomi akibat kebijakan unilateral negara lain.
Dalam situasi seperti ini, transparansi komunikasi pemerintah kepada publik juga dinilai penting agar tidak menimbulkan keresahan yang lebih luas di tengah masyarakat.
Negosiasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang gagal menyepakati peniadaan tarif impor menimbulkan kekhawatiran luas terhadap dampaknya terhadap ekonomi nasional. Celios menilai kegagalan ini menjadi cerminan lemahnya koordinasi dan strategi lintas kementerian yang relevan dalam urusan perdagangan luar negeri. Kehilangan potensi ekspor dan lapangan kerja menjadi konsekuensi nyata dari keputusan tarif tersebut.
Reaksi Celios yang mendesak reshuffle kabinet menunjukkan adanya dorongan kuat dari kalangan akademik dan profesional untuk evaluasi serius atas efektivitas tim ekonomi pemerintah. Kritik yang dilayangkan terhadap sejumlah menteri menegaskan pentingnya kompetensi dalam menghadapi tekanan geopolitik dan perdagangan global. Rencana membuka keran impor produk energi dinilai tidak tepat waktu dan membebani sektor fiskal Indonesia.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengedepankan diplomasi yang bersifat substantif dan strategis, bukan sekadar simbolik. Dalam kondisi global yang penuh ketidakpastian, Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih terarah dan profesional dalam mengelola hubungan luar negeri, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi.
Celios juga menekankan perlunya kebijakan perdagangan yang bersifat jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada solusi pragmatis sesaat. Stabilitas ekonomi dalam negeri tidak boleh dikorbankan demi negosiasi yang bersifat politis atau transaksional.
Jika tidak segera melakukan penyesuaian struktural dan strategi diplomasi yang kuat, maka Indonesia berpotensi kehilangan daya saing serta momentum pertumbuhan di tengah persaingan global yang kian intens. Evaluasi menyeluruh terhadap kabinet menjadi langkah awal untuk memperbaiki arah kebijakan nasional ke depan.(*)



























