Bogor, EKOIN.CO – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) meminta Pemerintah Kabupaten Bogor mencabut persetujuan lingkungan terhadap delapan perusahaan yang beroperasi di kawasan Puncak. Permintaan ini disampaikan sebagai tanggapan atas banjir yang terjadi dua kali di wilayah tersebut sepanjang tahun 2025.
Sekretaris Utama KLH Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan, banjir yang terjadi di Puncak, Kabupaten Bogor, telah mendorong KLH melakukan verifikasi lapangan sebanyak dua kali. Hasilnya, ditemukan kerusakan ekosistem cukup parah di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), yang diduga disebabkan oleh pembangunan dan aktivitas delapan perusahaan.
“Jadi di dalam HGU PTPN ternyata ada jenis izin lingkungan. Yang satu adalah amdal dari PTPN. Tetapi di dalamnya, yang delapan perusahaan itu juga punya amdal kecil-kecil yang seharusnya tidak boleh seperti itu,” ujar Vivien dalam taklimat media di Jakarta, Rabu (16/7/2025), seperti dikutip dari Antara, Kamis (17/7/2025).
Bangunan delapan perusahaan tersebut berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN I Regional 2. Namun masing-masing dari mereka memiliki dokumen lingkungan terpisah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
Delapan Perusahaan Terancam Dicabut Izinnya
Vivien menegaskan bahwa Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq telah mengirimkan surat resmi kepada Bupati Bogor untuk segera mencabut izin lingkungan delapan perusahaan tersebut. Tenggat waktu pencabutan diberi batas maksimal 30 hari kalender sejak surat diterima.
“Kami sudah meminta Pemkab Bogor untuk menindaklanjuti pencabutan izin dalam waktu yang sudah ditentukan,” kata Vivien.
Adapun delapan perusahaan yang dimaksud yakni PT PFI, PT JSI Resort, PT JLJ, PT EMPI, PT KPW, PT PIN, PT BNPI dan PT PA. Keseluruhan usaha tersebut bergerak di bidang jasa wisata, hotel, restoran, dan kafe yang selama ini beroperasi di wilayah sensitif ekosistem Puncak.
Selain pencabutan izin, KLH juga telah menjatuhkan sanksi terhadap 13 Koperasi Serba Usaha (KSP) yang bekerja sama dengan PTPN I Regional 2. Sanksi tersebut meliputi kewajiban membongkar bangunan, melakukan penanaman kembali, dan melaporkan kemajuan pelaksanaan sanksi kepada KLH.
Bencana Banjir dan Dampaknya
Wilayah Puncak dilanda banjir besar sebanyak dua kali dalam kurun waktu lima bulan terakhir. Banjir pertama terjadi pada 2 Maret 2025 yang berdampak hingga ke wilayah hilir, termasuk Jakarta, Depok, dan Bekasi. Banjir kedua terjadi pada 5–9 Juli 2025 dan menyebabkan tiga orang meninggal dunia serta satu orang lainnya dilaporkan hilang.
Kerusakan ekosistem di kawasan hulu DAS yang berada di Puncak disebut sebagai salah satu faktor utama penyebab banjir. KLH menilai pembiaran terhadap pembangunan di area konservasi tanpa pertimbangan lingkungan yang memadai menjadi penyebab utama gangguan terhadap fungsi resapan air.
“Ini bukan sekadar persoalan izin, tapi kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pelanggaran penggunaan ruang dan kawasan,” kata Vivien menambahkan.
KLH mengaku akan terus memantau implementasi pencabutan izin dan pelaksanaan sanksi lainnya yang sudah diberikan. Upaya pemulihan akan dikawal agar tidak sebatas formalitas administratif semata.
KLH juga akan mengaudit ulang seluruh izin lingkungan di wilayah rawan bencana, terutama di kawasan pegunungan yang berfungsi sebagai hulu DAS. Evaluasi ini dilakukan agar peristiwa serupa tidak berulang pada musim penghujan berikutnya.
Koordinasi antara KLH, Pemkab Bogor, dan instansi lain seperti Kementerian Agraria serta Kehutanan juga terus diperkuat. Proses pencabutan izin akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menjamin legalitas dan keberlanjutan ekosistem di kawasan Puncak.
KLH menekankan pentingnya integrasi tata ruang dan perlindungan lingkungan dalam setiap kegiatan usaha, termasuk sektor pariwisata. Pemerintah pusat berkomitmen memperketat pengawasan dan menyusun kebijakan berbasis mitigasi risiko bencana.
Saran yang dapat diberikan dalam situasi ini adalah perlunya ketegasan dalam penerapan hukum lingkungan. Pemerintah daerah diminta tidak sembarangan mengeluarkan izin usaha yang berdampak besar terhadap ekosistem. Selain itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan di wilayah konservasi.
Pemerintah sebaiknya menyusun sistem deteksi dini atas potensi kerusakan lingkungan yang bersumber dari pembangunan. Melalui pemantauan berkala dan kajian dampak yang akurat, kerusakan bisa dicegah sebelum terjadi bencana yang merugikan masyarakat.
Para pelaku usaha yang telah mendapatkan izin lingkungan diharapkan melakukan audit ulang terhadap kegiatan mereka, sekaligus membuka ruang partisipasi publik dalam menyampaikan masukan atau keberatan terhadap proyek tertentu. Hal ini penting untuk membangun transparansi dan akuntabilitas.
Masyarakat juga perlu diberikan edukasi yang berkelanjutan mengenai pentingnya menjaga keseimbangan alam, terutama di wilayah yang menjadi sumber air dan oksigen bagi kawasan perkotaan. Peran aktif warga akan sangat mendukung langkah-langkah pemulihan yang dilakukan pemerintah.
Sebagai kesimpulan, pencabutan izin delapan perusahaan di Puncak bukan hanya tindakan administratif, melainkan bentuk perlindungan terhadap keselamatan masyarakat luas. KLH telah memberikan waktu dan instruksi yang jelas kepada Pemkab Bogor sebagai langkah penegakan aturan. Jika dijalankan dengan konsisten, langkah ini bisa menjadi preseden dalam penataan kembali kawasan hulu DAS.
Kasus ini menunjukkan pentingnya sinergi antara pusat dan daerah dalam penanganan krisis lingkungan. Kebijakan yang adil, tegas, dan berbasis data menjadi kunci untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Pemerintah diharapkan terus menegakkan prinsip keberlanjutan dalam setiap aspek perizinan.
Pengawasan independen dan audit lingkungan harus dijadikan rutinitas tahunan, agar tidak terjadi pembiaran yang berujung pada bencana. Pengelolaan kawasan hulu membutuhkan kehati-hatian ekstra, karena kerusakannya akan berdampak besar terhadap daerah hilir.
Dengan pendekatan berbasis lingkungan, pembangunan wisata di kawasan Puncak masih bisa dilakukan secara bertanggung jawab. Namun semua pihak harus menomorsatukan kelestarian alam di atas kepentingan ekonomi jangka pendek. ( * )