Jakarta, EKOIN.CO – Aktivitas manufaktur di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun beberapa negara masih berada di zona kontraksi. Menurut rilis data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dikeluarkan oleh S&P Global untuk periode Juli 2025, PMI manufaktur ASEAN secara keseluruhan berhasil masuk ke zona ekspansi dengan angka 50,1, yang menunjukkan titik balik setelah tiga bulan berturut-turut berada di zona kontraksi.
“Paruh kedua tahun 2025 menunjukkan adanya pergeseran yang ringan namun menjanjikan dalam sektor manufaktur ASEAN. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, kondisi operasional menunjukkan tanda-tanda perbaikan, dengan output yang kembali tumbuh. Penurunan pada pesanan baru dan tingkat ketenagakerjaan mulai mereda, dan aktivitas pembelian tetap stabil sepanjang bulan,” ujar Maryam Baluch, Ekonom S&P Global Market Intelligence.
Di tengah pemulihan regional ini, beberapa negara mencatatkan kinerja ekspansif. Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia Research, Vietnam, Thailand, dan Filipina berhasil meraih PMI Manufaktur di atas 50, masing-masing dengan nilai 52,4, 51,9, dan 50,9.
Namun, tidak semua negara di kawasan ini bernasib sama. Malaysia dan Myanmar masih berada di zona kontraksi, dengan nilai masing-masing 49,7 dan 49,5. Lebih jauh, Indonesia juga mencatatkan hasil serupa dengan nilai 49,2. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi terendah dalam aktivitas manufaktur di antara negara-negara ASEAN pada bulan Juli 2025.
Bahkan, data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur Indonesia sudah berada di zona kontraksi selama empat bulan berturut-turut. Angka ini merupakan perbaikan tipis dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, yakni 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. S&P Global menjelaskan bahwa meskipun laju kontraksi melambat, kondisi manufaktur Indonesia masih memburuk.
“Data survei pada bulan Juli menunjukkan bulan negatif lainnya bagi kesehatan sektor manufaktur Indonesia. Penurunan output dan pesanan baru masih terjadi di awal kuartal ketiga, meskipun pelemahannya tidak sedalam bulan Juni. Namun, pesanan ekspor baru kembali mengalami penurunan, sementara perusahaan tetap dalam mode pengetatan, yang tercermin dari turunnya tingkat ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian,” tutur Usahah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence.
Situasi ini mengindikasikan bahwa meski ada perbaikan tipis, sektor manufaktur Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama dari sisi pesanan ekspor dan ketenagakerjaan.



























