Jakarta, EKOIN.CO – Kolaborasi akademik lintas negara kembali menjadi sorotan dalam pertemuan tahunan Australia-Indonesia in Conversation (AIC) 2025 yang digelar di Melbourne, Australia, Rabu (9/7). Acara tersebut menjadi momen penting bagi para akademisi Indonesia dan Australia untuk membedah isu pembangunan dan masyarakat adat.
Diskusi kali ini mengangkat tema besar “Persimpangan antara Pembangunan dan Representasi Masyarakat Adat”. Kegiatan ini menjadi penanda lima tahun kerja sama antara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan University of Melbourne (UoM).
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh para pimpinan institusi dan perwakilan diplomatik dari kedua negara. Hadir di antaranya Prof. Jennifer Balint selaku Deans UoM Arts, Dr. Siswo Pramono selaku Duta Besar RI untuk Australia dan Rod Brazier sebagai Duta Besar Australia untuk Indonesia.
Diskusi panel pertama menghadirkan sejumlah pembicara dari berbagai institusi. Di antaranya Dr. Bahruddin dari Fisipol UGM dan James Blackwell dari Australian National University yang hadir sebagai pembicara utama.
Bahruddin menekankan bahwa masyarakat adat masih tertinggal dalam pembangunan nasional. “Sudah saatnya pembangunan juga memprioritaskan masyarakat adat agar tidak mengalami ketertinggalan dari semua aspek,” tegasnya dalam siaran pers yang diterima wartawan, Senin (21/7).
Kolaborasi Akademik dan Tantangan Keadilan Sosial
Ia menambahkan bahwa banyak pembangunan masih berorientasi pada wilayah urban. Padahal, masyarakat suburban, pedalaman, dan 3T memiliki kebutuhan berbeda yang sering kali diabaikan.
Senada dengan hal itu, Dekan Fisipol UGM, Dr. Wawan Mas’udi, menggarisbawahi pentingnya forum seperti AIC sebagai ruang kontribusi akademik dalam diskursus kebijakan pemerintah.
Menurutnya, tantangan global seperti krisis demokrasi dan ketegangan geopolitik perlu dijawab dengan kolaborasi lintas negara yang kuat. Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap semua pihak yang telah menjaga keberlangsungan kerja sama ini.
“Saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh tim dari kedua institusi yang telah menunjukkan komitmen dan dedikasi luar biasa,” ujar Wawan.
Ia menegaskan bahwa AIC adalah bentuk konsistensi dua negara dalam membangun dialog strategis dan keberlanjutan tata kelola yang inklusif dan adil.
Suara Masyarakat Adat dan Representasi Budaya
Diskusi juga mempertemukan berbagai suara yang mewakili lapisan masyarakat dan budaya. Dr. Justin Wejak dan Prof. Kristen Smith dari University of Melbourne mengulas bagaimana representasi budaya sering kali tidak sejajar dengan pembangunan ekonomi.
Seniman dan pengelola program budaya asal Makassar, Abdi Karya, serta akademisi dari Universitas Negeri Makassar, Nur Abdiansyah, menyoroti ketimpangan akses dan peran masyarakat adat dalam proses pembangunan daerah.
Dr. Fina Itriyati dari UGM menambahkan bahwa regulasi kebijakan sering kali mengabaikan dinamika lokal masyarakat adat, sehingga menimbulkan ketegangan antara pemerintah dan komunitas.
Para pembicara sepakat bahwa pelibatan aktif komunitas adat dalam perencanaan pembangunan sangat krusial untuk mencegah konflik lahan dan kultural.
“Penting adanya ruang dialog dan representasi masyarakat adat dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional,” kata Fina Itriyati di sela diskusi.
Pertemuan AIC 2025 menjadi refleksi penting atas bagaimana pembangunan belum sepenuhnya inklusif terhadap masyarakat adat. Ketimpangan akses, representasi, dan ketertinggalan wilayah terluar masih menjadi tantangan besar bagi kebijakan pembangunan nasional. Kolaborasi akademik seperti ini menjadi jalan untuk mengangkat isu-isu yang jarang disuarakan di ruang publik maupun pemerintahan.
Para pembicara dan institusi yang hadir mendorong pembaruan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada keadilan sosial dan keberlanjutan budaya. Pelibatan masyarakat adat tidak lagi bisa dianggap pelengkap, melainkan harus menjadi bagian utama dari perencanaan jangka panjang.
Dengan mempertahankan kerja sama lintas institusi dan negara, forum AIC membuktikan bahwa dunia akademik bisa menjadi penggerak perubahan kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan. Langkah ini sejalan dengan semangat demokrasi dan keadilan sosial yang terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia dan Australia.(*)