Jakarta EKOIN.CO – Fenomena rumah subsidi hantu kembali menjadi sorotan setelah Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) merilis data terbaru mengenai hunian yang seharusnya ditempati penerima. Meski sebagian besar rumah subsidi ditempati sesuai aturan, masih ada ribuan unit yang terbengkalai dan tidak berpenghuni. Ikuti berita terkini lainnya di WA Channel EKOIN.
Pada tahun 2023, BP Tapera mencatat sebanyak 65.162 unit atau 92,53% rumah subsidi hasil survei berhasil ditempati penerimanya. Namun, sekitar 7% rumah yang seharusnya dihuni justru dibiarkan kosong. Kondisi ini memunculkan istilah “rumah hantu” di sejumlah kawasan perumahan bersubsidi.
Penyebab Rumah Subsidi Hantu
Fenomena rumah hantu ini tidak lepas dari berbagai faktor. BP Tapera menyebutkan sebagian penerima kredit fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) memiliki alasan ekonomi hingga pekerjaan yang tidak memungkinkan mereka tinggal di lokasi rumah tersebut.
Selain itu, jarak antara lokasi rumah subsidi dengan pusat kota dan tempat kerja kerap menjadi hambatan. Banyak penerima merasa kesulitan mengakses transportasi maupun fasilitas umum sehingga memilih tidak menempati rumahnya.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah praktik penyalahgunaan rumah subsidi. Ada penerima yang membeli rumah bukan untuk ditempati, melainkan dijadikan aset investasi atau disewakan kembali kepada pihak lain.
Upaya Pemerintah dan Tantangan di Lapangan
Pemerintah melalui BP Tapera menegaskan terus melakukan pengawasan agar penerima manfaat benar-benar menempati rumah subsidi sesuai aturan. “Sebanyak 7% ini (tidak menempati) dikarenakan beragam alasan, mulai dari faktor lokasi hingga kondisi ekonomi penerima,” ungkap perwakilan BP Tapera.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperkuat mekanisme verifikasi calon penerima rumah subsidi. Dengan sistem yang lebih ketat, diharapkan hanya masyarakat yang benar-benar membutuhkan hunian yang dapat memanfaatkannya.
Namun tantangan tetap ada, terutama terkait ketersediaan lahan di kota besar. Rumah subsidi umumnya dibangun di kawasan pinggiran yang relatif jauh dari pusat aktivitas ekonomi. Hal ini menurunkan minat penerima untuk benar-benar tinggal di rumah tersebut.
Jika kondisi ini terus berlanjut, risiko meningkatnya jumlah rumah hantu akan semakin besar. Pemerintah pun diminta mencari solusi inovatif agar program subsidi perumahan tepat sasaran dan tidak hanya menghasilkan bangunan kosong.
Kehadiran rumah hantu juga menimbulkan dampak sosial di lingkungan sekitar. Kompleks perumahan yang sebagian besar tidak berpenghuni rawan menjadi area terbengkalai, menurunkan kualitas lingkungan, dan menimbulkan keresahan warga lain yang menetap.
Di sisi lain, masih ada harapan bahwa dengan peningkatan infrastruktur transportasi dan fasilitas umum, minat menempati rumah subsidi akan bertambah. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menyelaraskan pembangunan perumahan dengan aksesibilitas kawasan.
Langkah korektif juga perlu dilakukan terhadap penerima rumah yang menyalahgunakan aturan. Penindakan tegas diharapkan memberi efek jera sehingga fenomena rumah subsidi hantu dapat ditekan.
Ke depan, program subsidi perumahan tetap menjadi salah satu andalan pemerintah dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, efektivitasnya bergantung pada kepatuhan penerima dan dukungan regulasi yang kuat.
Dengan pengawasan ketat serta penyesuaian kebijakan yang tepat, fenomena rumah hantu dapat diminimalisir sehingga tujuan utama program, yakni menyediakan rumah layak huni bagi masyarakat, bisa tercapai sepenuhnya.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v