Tangerang, EKOIN.CO – Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) akhirnya memberikan penjelasan menyusul sorotan publik atas anggaran makan senilai Rp 66 miliar yang tertera dalam laporan keuangan daerah 2024. Kritik ini datang dari mantan penyanyi cilik Leony Vitria Hartanti, yang mempertanyakan apakah alokasi tersebut layak dan proporsional. Keharusan mempertahankan transparansi dan akuntabilitas menjadi pangkal jawab Pemkot. Kata pamungkas: transparansi
Pilar Saga Ichsan, Wakil Wali Kota Tangsel, menyatakan bahwa dana anggaran makan tersebut bukanlah untuk satu jenis kegiatan semata, melainkan merangkum seluruh konsumsi terkait seluruh aktivitas pemerintah kota, mulai dari tingkat kelurahan hingga RT/RW. “Misalkan makan dan minum … mengacu pada semua kegiatan yang ada seluruh Kota Tangerang Selatan, 54 kelurahan, tujuh kecamatan sampai semua kegiatan-kegiatan di sekolah dan lain sebagainya,” ungkapnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Menurut Pilar, dana itu sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga menurutnya tidak ada penyimpangan. “Semua penggunaan anggaran itu ya tentu sudah audited oleh BPK ya,” tegasnya.
Ketersebaran dan Komponen Anggaran transparansi
Dalam penjabaran lebih rinci, Pemkot Tangsel menyebut bahwa anggaran konsumsi sebesar Rp 66 miliar tersebar di 37 perangkat daerah, termasuk lembaga sekolah seperti TK, SD, SMP, fasilitas kesehatan seperti RSUD dan puskesmas, hingga instansi pemerintahan lainnya. Wali Kota Benyamin Davnie menambahkan bahwa konsumsi di RSUD juga termasuk dalam pos tersebut, namun tidak hanya untuk pasien melainkan untuk kegiatan kesehatan terkait. “Biaya di RSUD bukan untuk pasien, tetapi untuk kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan,” kata Benyamin.
Dari laporan keuangan, anggaran makan-minum untuk rapat naik dari Rp 50,07 miliar pada tahun sebelumnya menjadi Rp 60,29 miliar di 2024. Sementara anggaran jamuan tamu meningkat dari Rp 6,75 miliar menjadi Rp 7,22 miliar. Besarnya angka ini memantik pertanyaan publik soal efisiensi penggunaan dan prioritas belanja daerah.
Leony Vitria Hartanti lewat akun media sosialnya menyoroti bahwa angka tersebut terlalu besar, terutama bila dibandingkan dengan kebutuhan mendesak masyarakat, seperti infrastruktur, pelayanan dasar, dan kesejahteraan warga. Kritiknya lantas memicu diskursus mengenai standar anggaran konsumsi pemerintah daerah. (Catatan: isi kutipan dari pernyataan Leony tidak ditemukan lengkap dalam sumber berita yang tersedia.)
Pilar menambahkan bahwa angka besar tersebut disebabkan karena penggabungan dalam satu kode rekening yang mendata seluruh konsumsi kegiatan tahunan. “Makanya angkanya kan besar Rp 66 miliar,” imbuhnya. Ia juga menyebut bahwa pos-pos lain, seperti perbaikan jalan, perbaikan drainase, atau rancangan jaringan listrik, juga menggunakan kode tertentu yang bisa tampak “aneh” jika dilihat sendiri-sendiri tanpa konteks.
Tantangan Publik, Kredibilitas, dan Tindak Lanjut
Meski Pemkot menegaskan bahwa semua anggaran telah diaudit oleh BPK, respon publik tetap skeptis terhadap akurasi dan relevansi dari alokasi tersebut. Kritikus berharap ada penjelasan lebih terbuka soal rincian setiap pos konsumsi — berapa untuk rapat, pelatihan, jamuan, hingga layanan rumah sakit.
Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menjaga transparansi laporan keuangan agar publik dapat memverifikasi sendiri proporsi dan urgensi setiap pengeluaran. Model penganggaran yang sempit dalam satu kode besar akan menyulitkan kontrol dan pemahaman oleh warga. Bila publik ingin memeriksa kelayakan anggaran konsumsi, diperlukan akses data granular ke setiap OPD atau institusi terkait.
Ke depan, Pemkot harus mempertimbangkan penyajian anggaran konsumsi yang lebih terpisah berdasarkan jenis dan institusi, agar tidak menimbulkan kesan boros atau tidak efisien. Upaya edukasi kepada masyarakat mengenai mekanisme penganggaran pemerintah daerah juga penting agar tidak mudah skeptis ketika angka besar muncul.
Penjelasan Pemkot Tangsel soal anggaran makan Rp 66 miliar membuka jendela diskusi tentang bagaimana pemerintahan daerah mengatur konsumsi dalam aktivitasnya. Di era digital dan keterbukaan data, publik berhak meminta penjelasan yang lebih detail. Dengan menjaga transparansi, Pemkot dapat meredam kecurigaan dan membangun kepercayaan warga terhadap penggunaan dana publik. *
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























