Pekanbaru EKOIN.CO – Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) mengungkap fakta mengejutkan terkait penyalahgunaan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau. Sebanyak sembilan perusahaan diduga menanami lahan seluas 32.903 hektare dengan kelapa sawit, padahal izin resmi yang dimiliki diperuntukkan untuk hutan tanaman keras. Temuan ini memunculkan tanda tanya besar mengenai kepatuhan perusahaan terhadap regulasi lingkungan dan komitmen menjaga keberlanjutan hutan.
Gabung WA Channel EKOIN untuk berita terbaru
Sawit di Lahan HTI Tesso Nilo
Wakil Ketua Satgas PKH Pusat, Dwi Agus, menyampaikan hasil pra-verifikasi ini dalam rapat koordinasi percepatan pemulihan TNTN di Pekanbaru, Jumat. Ia menjelaskan, analisis dilakukan melalui metode overlay antara citra satelit dengan peta resmi kementerian terkait. Hasilnya, ditemukan tutupan sawit di area yang seharusnya ditanami pohon industri.
“Dari total luasan izin pemanfaatan hutan (PBPH) sebesar 174.537 hektare milik sembilan perusahaan di sekitar TNTN, terdapat 32.903 hektare yang kini terindikasi ditanami kebun kelapa sawit,” kata Dwi Agus. Ia menegaskan, temuan ini harus menjadi perhatian serius karena izin yang diberikan jelas menyebut peruntukan hutan tanaman keras, bukan sawit.
Menurut Satgas PKH, penyalahgunaan izin HTI tidak bisa dianggap sepele. Selain melanggar ketentuan hukum, praktik ini mengancam fungsi ekologis kawasan hutan dan keberadaan TNTN sebagai salah satu benteng keanekaragaman hayati di Riau. TNTN sendiri dikenal sebagai habitat penting satwa langka, termasuk gajah sumatra.
Satgas PKH mendesak Kementerian Kehutanan menjadikan temuan ini sebagai bahan evaluasi mendalam. Penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar izin dipandang penting untuk menjaga integritas pengelolaan hutan di Indonesia.
Tumpang Tindih HGU dan Prioritas Satgas PKH
Selain penanaman sawit ilegal, Satgas PKH juga menemukan adanya tumpang tindih perizinan antara PBPH dengan Hak Guna Usaha (HGU). Berdasarkan analisis data Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, terdapat 6.689 hektare lahan yang bersertifikat HGU tetapi berada di dalam area PBPH.
“Ini menjadi permasalahan tersendiri, bagaimana bisa sertifikat HGU terbit di area PBPH. Ini prioritas tim pusat nanti,” ungkap Dwi Agus. Pernyataan ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan data antar instansi yang dapat membuka celah bagi praktik penyalahgunaan lahan.
Sembilan perusahaan yang masuk dalam temuan Satgas PKH antara lain PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Arara Abadi, PT Nusa Prima Manunggal, PT Nusa Wana Raya, PT Nusantara Sentosa Raya, PT Rimba Lazuardi, PT Rimba Peranap Indah, PT Wananugraha Bimalestari, dan CV Putri Lindung Bulan.
Fenomena tumpang tindih perizinan ini dianggap memperparah persoalan. Jika dibiarkan, risiko deforestasi semakin tinggi, sementara upaya pemulihan hutan bisa terhambat. Oleh karena itu, Satgas PKH menegaskan penanganan dua masalah besar ini—penanaman sawit di area HTI dan tumpang tindih izin HGU—sebagai prioritas nasional.
Langkah ini diharapkan mampu mengembalikan fungsi hutan secara berkelanjutan sekaligus melindungi TNTN dari ancaman alih fungsi lahan. Pemerintah pusat diminta segera mengambil tindakan terukur melalui evaluasi izin, pembenahan regulasi, hingga penegakan hukum yang konsisten.
Kasus di Tesso Nilo mencerminkan persoalan struktural dalam tata kelola hutan di Indonesia. Ketidakharmonisan data perizinan antarlembaga menjadi salah satu pemicu utama yang harus segera diselesaikan agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.
Pada akhirnya, temuan Satgas PKH ini memberi sinyal kuat bahwa pengawasan kawasan hutan perlu diperketat. Tidak hanya untuk memastikan kepatuhan perusahaan, tetapi juga demi melindungi kekayaan ekologi yang tersisa di jantung Sumatra.
Kasus penanaman sawit di lahan HTI Tesso Nilo memperlihatkan lemahnya pengawasan terhadap izin hutan. Penyalahgunaan lahan sebesar 32.903 hektare tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga mengancam ekosistem TNTN.
Pemerintah perlu segera mengambil langkah hukum tegas terhadap perusahaan yang terlibat, agar praktik serupa tidak menjadi preseden buruk dalam tata kelola hutan.
Selain itu, sinkronisasi data antara kementerian sangat mendesak. Tanpa itu, potensi tumpang tindih izin akan terus terjadi dan menimbulkan masalah baru di lapangan.
Satgas PKH harus diperkuat secara kelembagaan dan operasional agar dapat menindaklanjuti temuan ini secara konsisten hingga ke ranah hukum.
Masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam mengawal kasus ini. Transparansi dan akuntabilitas perlu dijaga agar keberlangsungan hutan Tesso Nilo tetap terjamin. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v