Jakarta EKOIN.CO – Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta resmi menguatkan vonis 7 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono. Putusan ini berkaitan dengan kasus korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa, Sumatera Utara–Aceh, yang berlangsung pada periode 2017–2023.
Vonis tersebut memperkuat keputusan sebelumnya dari Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam amar putusan, Prasetyo dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain pidana badan, Prasetyo diwajibkan membayar denda Rp500 juta dengan subsider 4 bulan kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman membayar uang pengganti Rp2,6 miliar dengan subsider 2 tahun 8 bulan penjara jika tidak dilunasi.
Korupsi Proyek Jalur Besitang-Langsa
Dalam dakwaan, jaksa menyebut proyek jalur KA Besitang-Langsa telah merugikan negara hingga Rp1,15 triliun. Kerugian itu timbul karena proyek diusulkan tanpa memenuhi sejumlah persyaratan dasar, seperti dokumen AMDAL dan pembebasan lahan.
Prasetyo diduga memerintahkan bawahannya, Nur Setiawan Sidik, untuk mengajukan proyek ke Bappenas dengan skema pembiayaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Proyek tersebut kemudian dipecah menjadi 11 paket, masing-masing bernilai di bawah Rp100 miliar, untuk menghindari regulasi pengadaan.
Tender dilakukan dengan metode pascakualifikasi. Berdasarkan keterangan di persidangan, pemenang lelang diduga telah ditentukan sebelumnya melalui pertemuan internal yang hanya menguntungkan satu perusahaan, PT Mitra Kerja Prasarana milik Freddy Gondowardojo.
Uang, Fasilitas, dan Komitmen Fee
Dalam pelaksanaan proyek, supervisi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Majelis hakim menemukan adanya praktik pinjam perusahaan demi meloloskan proyek.
Prasetyo disebut menerima uang, barang, serta fasilitas dari pihak kontraktor sebagai komitmen fee. Praktik ini memperkuat indikasi adanya pengaturan tender dan penyalahgunaan kewenangan di lingkup Direktorat Jenderal Perkeretaapian.
Hakim menyatakan bahwa tindakan Prasetyo bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, perbuatan tersebut dinilai merusak kepercayaan publik terhadap Balai Teknik Perkeretaapian Sumatera Utara serta institusi perkeretaapian secara nasional.
Meski demikian, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, seperti sikap sopan Prasetyo di persidangan, faktor usia lanjut, dan adanya tanggungan keluarga. Pertimbangan itu tidak mengurangi bobot hukuman pokok yang dijatuhkan.
Kasus Prasetyo Boeditjahjono memperlihatkan bagaimana korupsi di sektor infrastruktur bisa berdampak besar terhadap kerugian negara. Vonis 7,5 tahun penjara menjadi pengingat keras bahwa penyalahgunaan jabatan publik tidak akan dibiarkan.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mengirim pesan bahwa upaya hukum banding tidak selalu memberi keringanan hukuman, terutama bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Kasus ini sekaligus menyoroti perlunya perbaikan sistem pengadaan proyek infrastruktur agar tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama.
Selain itu, penegakan hukum yang konsisten diharapkan dapat memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah, khususnya di sektor transportasi.
Masyarakat pun diingatkan untuk terus mengawasi jalannya proyek publik, agar praktik korupsi serupa tidak kembali terjadi. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v