Jakarta EKOIN.CO – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut mesin ekonomi Indonesia pincang dalam dua dekade terakhir. Ia menyoroti perbedaan pola pertumbuhan antara era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo (2014-2024).
Ikuti berita lain di WA Channel EKOIN
Menurut Purbaya, pada masa pemerintahan SBY, ekonomi didorong kuat oleh sektor swasta. Sementara itu, di era Jokowi, pendorong utamanya lebih banyak berasal dari pemerintah lewat pembangunan infrastruktur.
“Dalam 20 tahun terakhir ini, mesin ekonomi kita pincang, satu jalan sana swasta, di sini satu jalan hanya pemerintah,” kata Purbaya dalam acara Great Lecture Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Ekonomi Era SBY: Swasta Lebih Dominan
Purbaya memaparkan, pada era SBY pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 5 hingga hampir 6 persen. Angka ini ditopang aktivitas sektor swasta yang tumbuh signifikan.
“Zaman Pak SBY bangun infrastruktur sedikit kan, pertumbuhan ekonominya mendekati 5 persen rata-rata ya, pertumbuhan kreditnya 21 persen, M0-nya 17 persen,” jelasnya.
Pertumbuhan kredit perbankan yang tinggi menunjukkan peran besar sektor swasta dalam menggerakkan roda ekonomi. Hal ini berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan pasar.
Ekonomi Era Jokowi: Pemerintah Jadi Motor Utama
Berbeda dengan era sebelumnya, pembangunan infrastruktur menjadi strategi utama Jokowi. Namun, kontribusi swasta justru melambat.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mendekati 5 persen. Uang beredar (M0) tumbuh rata-rata 7 persen, bahkan sempat nyaris nol. Kredit perbankan tercatat di bawah 10 persen.
“Dia bangun infrastruktur sebanyak apapun hanya menggerakkan government sector, private sectornya lambat atau berhenti makanya tumbuhnya hanya di bawah 5 persen,” ujarnya.
Selain itu, rasio utang pemerintah di era Jokowi mencapai rata-rata 34,31 persen dari PDB. Angka ini lebih tinggi dibanding era SBY yang 31,65 persen.
Dana Pemerintah Mengendap di BI
Purbaya menyoroti kebijakan pemerintah menempatkan dana hingga Rp 800 triliun di Bank Indonesia. Padahal, dana tersebut bersumber dari pinjaman dengan bunga sekitar 7 persen.
“Itu efisien atau enggak? Saya enggak tahu. Tapi dari situ aja ada pemborosan,” ungkapnya.
Ia juga menilai Bank Indonesia ikut memperketat likuiditas dengan penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sehingga memperlambat laju ekonomi.
Ancaman Jebakan Ekonomi dan Solusi
Menurut Purbaya, jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, masyarakat bisa terjebak dalam situasi ekonomi sulit.
“Kalau ekonomi seperti saya ngelihatnya itu ini jebakan ekonomi, tinggal tunggu jatuhnya kalau enggak cepat-cepat diperbaiki,” ujarnya.
Sebagai langkah awal, ia memindahkan Rp 200 triliun dana pemerintah dari BI ke perbankan. Kebijakan ini diperkirakan mampu menambah pertumbuhan uang beredar hingga 20 persen dalam waktu dekat.
“Nanti kalau sudah saya perbaiki, ya (pertumbuhan ekonomi) 6-6,5 persen bisalah kira-kira atau bisa lebih cepat,” kata Purbaya optimistis.
Kondisi ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir menunjukkan perbedaan tajam antara dominasi swasta pada era SBY dan dominasi pemerintah di era Jokowi.
Pertumbuhan yang cenderung stagnan di bawah 5 persen menjadi perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak sosial dan finansial lebih luas.
Penumpukan dana di BI serta perlambatan kredit menunjukkan adanya masalah dalam distribusi likuiditas.
Purbaya mengingatkan bahwa bila tidak segera diatasi, jebakan ekonomi bisa menjadi kenyataan.
Dengan langkah pemindahan dana ke perbankan, diharapkan ekonomi dapat bergerak lebih cepat dan inklusif. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
.