JAKARTA EKOIN.CO – Rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengalihkan dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himbara menuai perhatian. Gebrakan likuiditas ini disebut berpotensi membuka lebih banyak lapangan kerja, namun sejumlah pihak menilai implementasinya perlu hati-hati agar benar-benar menyentuh sektor riil dan tidak menimbulkan risiko baru.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Gebrakan likuiditas dan potensi lapangan kerja
Ekonom Bhima Yudhistira mengingatkan agar Rp200 triliun tersebut tidak sekadar berputar dalam instrumen surat berharga negara (SBN). “Kalau bank himbaranya parkir dana di SBN, sama saja, itu namanya keluar kantong kanan, pindah kantong kiri, bukan pompa likuiditas ke masyarakat,” ujarnya.
Menurut Bhima, penggunaan dana ini sebaiknya tidak diarahkan untuk membiayai program pemerintah yang berisiko tinggi, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Ia menekankan pentingnya peraturan khusus dalam bentuk PMK agar penyaluran dana benar-benar masuk ke sektor produktif.
Bhima menilai sektor energi baru terbarukan (EBT) sangat potensial. Selaras dengan visi Presiden Prabowo untuk mencapai 100 persen EBT dalam 10 tahun, sektor ini diperkirakan mampu menciptakan hingga 19,4 juta green jobs. Namun, selama ini penyaluran kredit bank Himbara ke sektor EBT masih di bawah 1 persen.
“Peralihan dana kas pemerintah dari BI ke Himbara jadi momentum transisi ke motor ekonomi yang prospektif,” jelas Bhima. Ia menambahkan bahwa pembiayaan EBT tidak hanya sejalan dengan target nasional, tetapi juga memberi dampak signifikan bagi lapangan kerja.
Risiko implementasi dan tantangan sektor riil
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, menilai kebijakan ini inovatif karena menggabungkan aspek moneter dan fiskal. Namun ia mengingatkan agar Menteri Keuangan berhati-hati dalam mengeksekusinya.
Ronny menyoroti apakah benar perlambatan ekonomi Indonesia disebabkan ketatnya likuiditas. “Kalau permintaan kreditnya yang lemah, justru ini nanti bank yang kebingungan buat mencari cuan. Kalau dipaksakan, tentu berisiko,” katanya.
Ia menambahkan, untuk membuat kebijakan ini berjalan, kemungkinan besar BI rate harus kembali ditekan. Namun, langkah itu juga membawa konsekuensi. “Masalahnya, kalau suku bunganya terlalu rendah, sementara kondisi ekonomi riil masih berisiko, risikonya juga bertambah,” ujarnya.
Ronny juga menyoroti asal-usul dana yang selama ini mengendap di BI. Menurutnya, bila dana pemerintah yang seharusnya disalurkan melalui kebijakan fiskal justru masuk ke ranah moneter, proses intermediasi ke masyarakat akan semakin panjang.
“Cuma masalahnya, kalau itu duit pemerintah yang mestinya disalurkan via fiscal policy jadinya masuk ke ranah moneter. Padahal yang harusnya belanja itu pemerintah, tapi diminta bank yang salurkan,” jelas Ronny.
Kendati demikian, Ronny menegaskan bahwa ide Purbaya tetap patut diapresiasi. Ia menyebut kebijakan ini terbilang berani dan menawarkan pendekatan baru dalam menghadapi tantangan ekonomi. Namun, pengawasan yang ketat dan transparansi tetap menjadi kunci keberhasilannya.
Pakar menekankan bahwa keberhasilan gebrakan likuiditas Rp200 triliun ini akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah memastikan dana benar-benar mengalir ke sektor riil. Sektor energi terbarukan dipandang sebagai pintu masuk penting untuk menciptakan jutaan lapangan kerja yang dibutuhkan Indonesia dalam dekade mendatang. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v



























