Jakarta, Ekoin.co – Drama persidangan kasus dugaan korupsi Dinas Kebudayaan Jakarta kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Kamis (11/9/2025). Agenda sidang kali ini menghadirkan 11 saksi, termasuk Walikota Jakarta Pusat, Arifin, yang sempat menjadi sorotan publik karena pernah membawa istrinya dalam kunjungan dinas ke Paris saat menjabat sebagai Kasatpol PP.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebutkan bahwa kehadiran Arifin dan saksi lain bertujuan menguatkan dakwaan terhadap tiga terdakwa utama. Mereka adalah mantan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana, mantan Kabid Pemanfaatan M Fairza Maulana, serta pemilik EO Booth Produksi (GR PRO) Gatot Arif Rahmadi.
Ketiganya diduga terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan negara hingga Rp36 miliar. Angka itu tercatat dari proyek-proyek kegiatan di bawah Dinas Kebudayaan yang menggunakan anggaran APBD 2022 hingga 2024.
Keterangan Walikota Jakarta Pusat Arifin
Dalam sidang, Arifin menegaskan bahwa keberangkatan dirinya ke Paris dilakukan atas perintah langsung Sekretaris Daerah DKI Jakarta. Ia juga menyatakan bahwa transportasi dan akomodasi untuk dirinya serta istri ditanggung secara pribadi.
BACA JUGA: Uang Rp2,48 Miliar Jadi Sorotan Sidang Disbud DKI
“Atas perintah Sekda mengawal pagelaran seni, boleh membawa istri asal membayar sendiri,” ujar Arifin di hadapan majelis hakim. Ia menambahkan, tugas tersebut merupakan arahan Gubernur DKI Jakarta untuk menjaga keamanan acara seni yang berlangsung di Paris, mengingat kota itu dikenal rawan kejahatan.
Arifin kemudian menjelaskan kembali kepada awak media usai persidangan. “Sudah dibayarkan kembali ya, untuk tiket dan hotel, sudah clear,” tuturnya. Pernyataan ini diperkuat saksi lain yang turut hadir dalam perjalanan tersebut.
Jaksa kemudian mendalami sejauh mana keterlibatan pejabat dalam perjalanan dinas ke luar negeri. Namun, Arifin menegaskan bahwa perjalanannya bukan bagian dari dugaan korupsi Dinas Kebudayaan Jakarta yang sedang diadili.
Terdakwa dan Kerugian Negara
Fokus persidangan tetap pada peran tiga terdakwa yang disebut merancang kegiatan fiktif maupun manipulasi laporan dalam proyek kebudayaan. Modus itu dituding sebagai cara untuk mengalihkan dana APBD secara ilegal.
Dalam dakwaan, Iwan Henry Wardhana bersama bawahannya diduga bekerja sama dengan Gatot Arif Rahmadi untuk menyiapkan kegiatan yang nilainya membengkak jauh di atas anggaran sebenarnya. Uang negara diduga mengalir ke sejumlah pihak di luar kepentingan kegiatan resmi.
Fairza Maulana, yang kala itu menjabat sebagai Kabid Pemanfaatan, turut dituding menandatangani dokumen tanpa verifikasi mendalam. Hal ini memudahkan proses pencairan dana kegiatan.
JPU menekankan bahwa kerugian negara mencapai Rp36 miliar, hasil dari penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan kejanggalan dalam realisasi anggaran.
Sementara itu, majelis hakim mengingatkan para terdakwa untuk menjawab pertanyaan secara jujur demi mempercepat jalannya persidangan. Hakim Ketua juga meminta saksi-saksi memberi keterangan yang sesuai fakta.
Persidangan berlangsung tertib meski sempat ramai oleh kehadiran masyarakat yang ingin menyaksikan jalannya kasus besar ini.
Latar Belakang Kasus
Kasus dugaan korupsi Dinas Kebudayaan Jakarta pertama kali mencuat ketika aparat penegak hukum menemukan indikasi anggaran tidak wajar dalam laporan kegiatan seni dan budaya. Proyek yang seharusnya mendukung pelestarian budaya justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Investigasi mendalam dilakukan sejak akhir 2024, hingga akhirnya penyidik menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Proses penyidikan berlanjut ke tahap penuntutan pada 2025.
Media nasional menyoroti kasus ini karena menyangkut penggunaan dana publik dalam jumlah besar. Publik menilai, proyek kebudayaan seharusnya mendukung kemajuan seni dan tradisi lokal, bukan menjadi ajang memperkaya diri pejabat.
Selain itu, persidangan ini menarik perhatian karena melibatkan nama pejabat aktif, meski statusnya hanya sebagai saksi. Hal tersebut menambah sorotan terhadap integritas birokrasi DKI Jakarta.
Pakar hukum menilai kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemberantasan korupsi di sektor budaya. Transparansi anggaran disebut harus diperketat agar tidak terulang.