Tulungagung EKOIN.CO – Kasus korupsi senilai Rp 4,3 miliar terungkap di RSUD dr Iskak Tulungagung. Kejaksaan Negeri Tulungagung resmi menetapkan dua orang tersangka, yakni Renny Budi Kristanti (42), staf keuangan rumah sakit yang baru menerima SK PPPK, dan Yudi Rahmawan (60), mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD.
Ikuti kabar terbaru di WA Channel EKOIN.
Modus Korupsi RSUD dr Iskak
Penetapan tersangka dilakukan setelah audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan adanya kerugian negara mencapai Rp 4,3 miliar. Dugaan praktik korupsi berlangsung sepanjang 2022 hingga 2024, dengan modus penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) bagi pasien.
Kepala Kejaksaan Negeri Tulungagung, Tri Sutrisno, menjelaskan bahwa para tersangka memanfaatkan celah aturan penggunaan SKTM. “Pengguna SKTM ini ada yang membayar 50 persen, 25 persen, dan ada juga yang dibebaskan karena dinilai benar-benar miskin,” ujarnya. Dari pengaturan persentase pembayaran tersebut, keuntungan pribadi diambil secara sistematis.
Menurut informasi internal rumah sakit, saat kasus ini berlangsung Yudi sudah mendekati masa pensiun, sedangkan Renny masih berstatus tenaga honorer. Baru pada Senin (8/9/2025), ia menerima SK pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagian Hukum RSUD dr Iskak.
Penahanan dan Dampak Kasus Korupsi
Proses hukum berjalan cukup dramatis. Penahanan terhadap Renny sempat tertunda karena kondisi mentalnya tidak siap ketika akan dipindahkan ke Lapas Kelas IIB Tulungagung. Meski demikian, Kejari memastikan langkah hukum tetap ditempuh untuk memberi kepastian dan efek jera.
Salah seorang sumber di RSUD dr Iskak mengungkapkan, “Hari Senin kemarin ada 77 orang yang dapat SK PPPK di pendopo. Dia salah satunya.” Fakta ini menambah perhatian publik karena status baru Renny ternyata langsung diiringi dengan penetapan tersangka.
Kasus korupsi di RSUD dr Iskak ini menyoroti kelemahan dalam sistem pengelolaan dana layanan kesehatan berbasis SKTM. Celah manipulasi pembayaran pasien miskin membuat rumah sakit mengalami kerugian negara yang besar, sementara warga yang seharusnya mendapat manfaat justru dirugikan.
Praktik korupsi di fasilitas kesehatan publik menjadi perhatian serius, mengingat rumah sakit seharusnya berfungsi memberikan akses pelayanan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok tidak mampu. Kasus ini diharapkan menjadi momentum perbaikan tata kelola di lingkungan rumah sakit daerah.
Kejaksaan menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendalami aliran dana hasil korupsi, termasuk kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain. Penyidikan masih terbuka, dan tidak menutup kemungkinan munculnya tersangka baru jika ditemukan bukti tambahan.
Masyarakat Tulungagung berharap agar kasus ini ditangani secara tuntas, sekaligus menjadi pembelajaran untuk memperketat pengawasan di sektor layanan publik. Dengan kerugian negara mencapai miliaran rupiah, korupsi di sektor kesehatan dipandang sangat merugikan kepentingan rakyat kecil yang membutuhkan layanan.
Kasus ini menjadi cerminan betapa pentingnya transparansi dan integritas dalam pengelolaan keuangan rumah sakit. Setiap rupiah yang dikelola adalah hak publik yang harus dipertanggungjawabkan.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v