TAIPING, EKOIN.CO – Tepat 80 tahun lalu, sebuah rencana besar yang berpotensi mengubah peta politik Asia Tenggara sempat dibicarakan secara serius. Indonesia dan Malaysia, yang kala itu masih dalam masa pendudukan Jepang, pernah mempertimbangkan untuk bersatu dalam satu negara berdaulat bernama Indonesia Raya. Gagasan ini muncul hanya beberapa hari sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
(Baca Juga : Rencana Besar Indonesia Raya)
Pertemuan penting yang memunculkan ide tersebut berlangsung di Taiping, Perak, pada 12 Agustus 1945. Kala itu, tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat – baru saja menghadiri undangan Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Terauchi menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945, dan meminta para tokoh mempersiapkan diri menyambut momen tersebut.
Pertemuan Senyap Menuju Indonesia Raya
Usai dari Dalat, rombongan Indonesia tidak langsung kembali ke Tanah Air. Mereka singgah di Singapura, disambut oleh para aktivis Kesatuan Melayu Muda (KMM) dan Kekuatan Rakyat Istimewa (KRIS). Kedua organisasi itu dipimpin oleh tokoh nasionalis Melayu, Ibrahim Yaacob, yang sejak lama menginginkan persatuan Malaya dengan Indonesia.
(Baca Juga : Peran KMM dalam Rencana Persatuan)
Ibrahim, yang mendirikan KMM pada 1937, telah mengubah kepanjangan KRIS menjadi Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung pada Juli 1945. Tujuannya jelas: membebaskan Malaya dari kolonial Inggris dan menggabungkannya dengan Indonesia merdeka. Sambutan di Singapura meriah, dengan pengibaran bendera merah putih dan dukungan terbuka terhadap gagasan Indonesia Raya.
Setibanya di Taiping, rombongan Indonesia bertemu Ibrahim, petinggi KMM, serta Jenderal Jepang Umezu. Dalam pertemuan yang diwarnai semangat persatuan itu, Soekarno menyampaikan seruan: “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia.”
Ibrahim merespons dengan penuh komitmen: “Kami orang Melayu akan setia menciptakan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka.”
Rencana yang Kandas di Tengah Perang
Namun, di balik semangat itu, tidak semua pihak sepakat. Menurut sejarawan Boon Kheng Cheah dalam Red Star Over Malaya (1983), Mohammad Hatta dan beberapa anggota rombongan, termasuk kemungkinan Radjiman, tidak sepenuhnya setuju dengan ide penyatuan.
(Baca Juga : Pro Kontra Indonesia Raya 1945)
Hanya dua hari setelah pertemuan, kabar besar datang: Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Peristiwa ini mengubah peta strategi para tokoh nasional. Golongan muda mendesak agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan secepatnya, tanpa menunggu janji Jepang pada 24 Agustus.
Desakan itu memuncak dengan peristiwa Rengasdengklok, ketika Soekarno dan Hatta “diamankan” oleh para pemuda. Akhirnya, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, mendahului rencana Jepang.
Rencana Indonesia Raya pun gugur. Ibrahim Yaacob harus kembali merancang strategi kemerdekaan Malaya, yang baru terwujud pada 31 Agustus 1957 – 12 tahun setelah Indonesia merdeka.
(Baca Juga : Sejarah Gagalnya Indonesia Raya)
Meskipun tidak pernah terwujud, pertemuan rahasia di Taiping menjadi salah satu catatan penting hubungan awal Indonesia-Malaysia. Rencana itu menunjukkan bahwa persatuan politik di kawasan Asia Tenggara bukanlah gagasan baru, melainkan pernah serius dipertimbangkan di tengah pergolakan sejarah.
:
- Pertemuan di Taiping, Perak, 12 Agustus 1945, menandai upaya serius penyatuan Indonesia dan Malaya dalam konsep Indonesia Raya.
- Ide tersebut digagas oleh Soekarno, Hatta, Radjiman, bersama tokoh nasionalis Melayu Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy.
- Perubahan situasi politik akibat menyerahnya Jepang membuat rencana itu batal terwujud.
- Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi titik akhir gagasan persatuan saat itu.
- Malaysia akhirnya merdeka sendiri pada 31 Agustus 1957, meninggalkan gagasan Indonesia Raya sebagai sejarah yang tak pernah menjadi kenyataan.
- Penting bagi generasi muda untuk mempelajari sejarah diplomasi kawasan Asia Tenggara.
- Penelitian mendalam perlu dilakukan terhadap arsip pertemuan Taiping untuk memahami detail politik saat itu.
- Hubungan bilateral Indonesia-Malaysia dapat diperkuat dengan memahami sejarah persatuan yang pernah direncanakan.
- Pelajaran berharga dari gagalnya Indonesia Raya adalah pentingnya kesepakatan politik bersama sebelum melangkah.
- Sejarah ini menjadi pengingat bahwa geopolitik Asia Tenggara selalu dinamis dan penuh potensi kerja sama.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
.



























