SINGAPURA, EKOIN.CO – Lonjakan kasus chikungunya di Singapura memicu peringatan serius dari Otoritas Penyakit Menular (Communicable Diseases Agency/CDA). Sejak awal tahun hingga 2 Agustus 2025, tercatat 17 kasus, lebih dari dua kali lipat periode yang sama tahun lalu, serta melampaui total kasus sepanjang 2024.
Gabung WA Channel EKOIN di sini
CDA mengungkapkan, dari 16 kasus yang dilaporkan hingga akhir Juli, 13 di antaranya adalah kasus impor dari wilayah terdampak di luar negeri, sedangkan tiga lainnya merupakan kasus lokal sporadis. Kondisi ini menimbulkan kewaspadaan mengingat sebagian kasus datang dari negara dengan wabah aktif.
Meski jumlahnya masih jauh di bawah puncak wabah pada 2008 yang mencapai 718 kasus dan pada 2013 sebanyak 1.059 kasus, CDA menegaskan pentingnya penguatan langkah pencegahan. Badan tersebut siap meninjau perlunya kebijakan tambahan jika risiko penyebaran chikungunya meningkat.
Badan Lingkungan Nasional (NEA) menyatakan akan meningkatkan pengendalian vektor setiap kali ada laporan kasus dari CDA. Langkah ini mencakup inspeksi sarang nyamuk di area rumah dan tempat kerja pasien.
Hingga kini, NEA telah memasang sekitar 72.000 perangkap nyamuk Gravitrap di kawasan permukiman. Perangkat ini membantu memantau populasi nyamuk Aedes, vektor utama penyebaran chikungunya.
Gejala dan Dampak Kesehatan Chikungunya
Virus chikungunya menyebar melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi. Gejalanya mirip dengan demam berdarah, seperti demam tinggi, nyeri sendi, ruam, dan sakit kepala. Namun, nyeri sendi akibat chikungunya bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
“Meskipun tidak seberbahaya dengue, chikungunya dapat sangat melemahkan,” ujar Profesor Ooi Eng Eong dari Duke-NUS Medical School. Pernyataan ini mempertegas bahwa pasien tetap memerlukan penanganan intensif untuk pemulihan.
Lonjakan kasus di Singapura diduga terkait wabah yang terjadi di wilayah Samudra Hindia, termasuk Sri Lanka, serta di China yang melaporkan lebih dari 7.000 kasus pekan lalu. Amerika Serikat bahkan mengeluarkan peringatan perjalanan ke provinsi Guangdong dan kota Dongguan.
CDA juga melaporkan bahwa chikungunya tahun ini meningkat di Amerika, Asia, dan Eropa. Perubahan iklim turut membuat negara beriklim sedang yang sebelumnya bebas penyakit ini kini memiliki risiko lebih tinggi.
Belum ada vaksin chikungunya yang tersedia di Singapura, meskipun di beberapa negara lain vaksin telah mendapat izin edar. Pemerintah Singapura menunggu data keamanan lebih lanjut sebelum memutuskan penggunaannya.
Langkah Pencegahan dan Anjuran Perjalanan
Selama vaksin belum tersedia luas, pencegahan terbaik adalah menghindari gigitan nyamuk Aedes. CDA dan pakar kesehatan menyarankan penggunaan losion anti-nyamuk, mengenakan pakaian tertutup, serta membersihkan sarang nyamuk di rumah dan tempat kerja.
Bagi pelancong yang menuju daerah terdampak, disarankan untuk menginap di tempat dengan pelindung serangga, menggunakan repelan, dan segera mencari pertolongan medis jika mengalami gejala chikungunya.
Pasien yang terinfeksi diimbau memberi tahu riwayat perjalanan kepada dokter. Mereka juga diminta tetap menggunakan repelan untuk mencegah penularan virus ke nyamuk lain yang dapat menginfeksi orang sehat.
Seperti dengue, belum ada obat antivirus khusus untuk mempercepat penyembuhan chikungunya. Penanganan yang dilakukan hanya untuk meredakan gejala, seperti pemberian analgesik bagi nyeri sendi.
“Pasien juga perlu memastikan bahwa mereka tidak terinfeksi dengue bersamaan dengan chikungunya,” kata Dr Paul Tambyah, mantan Presiden International Society for Infectious Diseases.
Situasi ini menjadi pengingat bahwa ancaman penyakit menular lintas negara dapat meningkat seiring mobilitas manusia yang tinggi. Pencegahan menjadi kunci meminimalkan risiko penyebaran chikungunya di Singapura.
Masyarakat diminta untuk waspada namun tidak panik. Dengan penerapan langkah pencegahan yang disiplin, risiko penularan dapat ditekan secara signifikan.
Warga yang tinggal di kawasan padat penduduk juga disarankan mengikuti program pengendalian vektor dari pemerintah. Partisipasi aktif dapat membantu menekan jumlah kasus chikungunya di masa mendatang.
Kesiapsiagaan pemerintah, ditambah kesadaran masyarakat, menjadi faktor penting dalam mengatasi ancaman penyakit ini. Dengan kerja sama berbagai pihak, Singapura berharap dapat mengendalikan laju kasus chikungunya yang sedang meningkat.
Peningkatan pengendalian lingkungan dan pembersihan sarang nyamuk secara rutin harus menjadi kebiasaan. Tanpa itu, risiko penyebaran chikungunya akan terus menghantui.
Penggunaan kelambu saat tidur, terutama di daerah rawan, sangat membantu melindungi diri dari gigitan nyamuk.
Pemeriksaan kesehatan rutin bagi pelancong dari wilayah terdampak juga bisa membantu deteksi dini.
Pemerintah dapat memperluas edukasi publik melalui media untuk meningkatkan kesadaran pencegahan chikungunya.
Partisipasi aktif masyarakat akan menjadi faktor penentu keberhasilan pengendalian wabah.
Kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan menjadi garis pertahanan pertama melawan chikungunya.
Dengan pencegahan yang konsisten, risiko wabah besar dapat ditekan.
Kesiapan fasilitas kesehatan juga memastikan penanganan pasien berlangsung efektif.
Kolaborasi antara pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat menjadi kunci mengatasi ancaman chikungunya.
Jika semua pihak bergerak bersama, Singapura dapat menghindari ledakan kasus chikungunya seperti di masa lalu.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v