Jakarta EKOIN.CO – Peran Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam merespons krisis kemanusiaan di Palestina terus dipertanyakan, terlebih di tengah konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina yang tak kunjung mereda. Banyak kalangan menilai, OKI sebagai wadah negara-negara mayoritas Muslim seharusnya mampu bertindak lebih tegas. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya, dengan banyak faktor yang membatasi gerak organisasi tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Salah satu hambatan terbesar bagi OKI adalah ketergantungan ekonomi anggotanya terhadap negara-negara Barat. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki kerja sama ekonomi dan pertahanan yang erat dengan Amerika Serikat, termasuk kontrak senjata dan investasi besar-besaran. Begitu pula Mesir yang menjadi penerima utama bantuan militer dari AS, membuat mereka cenderung berhati-hati dalam bersikap terhadap Israel.
Seperti dikutip dari berbagai sumber, hubungan yang saling menguntungkan ini mendorong negara-negara tersebut untuk menghindari langkah-langkah yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi maupun hubungan diplomatik mereka dengan Barat. Mereka khawatir, kebijakan keras terhadap Israel akan berdampak langsung pada keamanan nasional dan pembangunan ekonomi.
Tidak Ada Kesatuan Politik di Tubuh OKI
Perbedaan kepentingan di antara 57 negara anggota OKI turut memperparah ketidakmampuan organisasi ini dalam mengambil langkah kolektif. OKI tidak memiliki satu suara yang seragam dalam isu Palestina, karena masing-masing negara memiliki kebijakan luar negeri yang berbeda, bahkan bertolak belakang dalam beberapa kasus.
Konflik antara Arab Saudi dan Iran menjadi contoh nyata perpecahan internal di tubuh OKI. Ketegangan dua negara besar itu mempersulit terbentuknya konsensus bersama, terutama mengenai kebijakan terhadap Israel dan sekutunya. Sejumlah negara anggota OKI juga telah menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti Bahrain, Maroko, dan Sudan melalui perjanjian Abraham Accords.
Dalam situasi seperti ini, sulit bagi OKI untuk melakukan tekanan efektif terhadap Israel. Karena sebagian anggotanya memiliki kepentingan bilateral dengan Tel Aviv, sikap tegas dianggap berisiko terhadap hubungan diplomatik yang baru terbentuk tersebut. Ini memperlihatkan bahwa solidaritas terhadap Palestina sering teredam oleh kepentingan strategis masing-masing negara.
Selain itu, lemahnya struktur organisasi OKI juga menjadi kendala. Tidak ada mekanisme sanksi atau penegakan keputusan yang kuat di dalam tubuh OKI, sehingga setiap negara bebas memilih sikap tanpa konsekuensi organisasi. Hal ini membuat OKI tidak memiliki daya paksa dalam menjalankan mandat kolektif.
Minimnya Tekanan Global terhadap Israel
Ketidakhadiran tekanan internasional yang signifikan terhadap Israel turut memperlemah posisi OKI. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, secara konsisten memberikan dukungan politik dan militer kepada Israel, sehingga memperkecil ruang gerak bagi negara-negara OKI untuk mempengaruhi dinamika konflik.
Ditambah lagi, isu Palestina sering kali dijadikan komoditas politik domestik oleh sejumlah negara anggota OKI. Mereka menggunakan narasi dukungan terhadap Palestina untuk kepentingan citra politik di dalam negeri, namun tidak benar-benar mengambil langkah nyata di forum internasional.
Ketika dunia Islam terpecah dan tidak bersatu dalam isu Palestina, kekuatan lobi Israel di panggung global justru semakin solid. Dengan dukungan kuat dari AS dan sekutunya, Israel mampu melanjutkan kebijakannya tanpa menghadapi tekanan berarti dari komunitas internasional, termasuk dari negara-negara OKI.
Sementara itu, banyak negara Muslim lebih fokus pada agenda domestik atau konflik regional lainnya, seperti perang saudara di Yaman, krisis di Suriah, atau ketegangan di kawasan Teluk. Kondisi ini menyebabkan isu Palestina tidak selalu menjadi prioritas utama dalam diplomasi luar negeri mereka.
OKI menghadapi berbagai tantangan struktural dan politik yang membatasi kemampuannya untuk bertindak efektif dalam isu Palestina. Ketergantungan ekonomi pada Barat, konflik internal antar anggota, serta lemahnya instrumen organisasi menjadi hambatan utama dalam membangun sikap kolektif yang tegas.
Selain itu, normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel oleh sebagian negara anggota OKI semakin memperlemah posisi organisasi ini dalam memberikan tekanan terhadap Tel Aviv. Hal ini menunjukkan lemahnya solidaritas dunia Islam terhadap Palestina dalam praktik diplomasi internasional.
Dalam situasi ini, OKI memerlukan reformasi internal yang mendalam agar mampu berfungsi sebagai organisasi efektif, termasuk penguatan struktur, pembuatan mekanisme penegakan keputusan, dan peningkatan solidaritas antarnegara anggota. Tanpa langkah-langkah ini, sulit mengharapkan perubahan nyata.
Krisis Palestina membutuhkan respon global yang kuat dan bersatu, termasuk dari negara-negara OKI. Namun, hingga kini, organisasi tersebut belum menunjukkan kapasitas yang memadai untuk menjadi pemain utama dalam penyelesaian konflik tersebut.
ke depan bagi OKI adalah memperkuat diplomasi multilateral, mempererat kerja sama antaranggota dalam satu suara, serta mengurangi ketergantungan ekonomi pada Barat agar lebih bebas dalam menentukan sikap politik di forum internasional. (*)