Juba EKOIN.CO – Ketegangan di sepanjang perbatasan Sudan Selatan dan Uganda kembali pecah menjadi konflik bersenjata yang menewaskan sedikitnya enam orang. Bentrokan berdarah antara pasukan kedua negara terjadi pada Senin, 28 Juli 2025, dan menjadi bukti nyata rapuhnya stabilitas wilayah yang telah lama disengketakan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Seperti dilansir dari CNBC Indonesia, insiden ini bermula dari aksi patroli bersenjata yang dilakukan oleh pasukan Sudan Selatan di zona perbatasan yang diklaim oleh Uganda sebagai bagian dari wilayahnya. Kontak senjata pun tak terhindarkan, yang akhirnya menewaskan enam tentara dari kedua kubu.
Ketegangan wilayah perbatasan ini bukan hal baru. Sejak Sudan Selatan merdeka dari Sudan pada tahun 2011, delimitasi perbatasan dengan Uganda kerap menimbulkan perselisihan. Namun, konflik kali ini menjadi yang paling mematikan dalam lima tahun terakhir.
Dalam laporan yang sama, pejabat militer Uganda menyatakan bahwa pasukan mereka hanya merespons “tindakan agresif” dari militer Sudan Selatan. Mereka menuduh bahwa pasukan Sudan Selatan melanggar wilayah kedaulatan Uganda dan menembak lebih dahulu.
Sebaliknya, Sudan Selatan menyalahkan Uganda atas meningkatnya ketegangan dan menyebut bahwa Uganda telah melakukan provokasi dengan mendirikan pos militer baru di dekat daerah yang masih disengketakan. Kedua negara saling tuding sebagai pihak pemicu bentrokan.
Perebutan Wilayah Memicu Ketegangan
Wilayah perbatasan yang menjadi pusat konflik terletak di sekitar distrik Kajo-Keji, sebuah area strategis yang kaya akan sumber daya dan rute perdagangan. Sengketa atas wilayah ini telah berulang kali menjadi sumber gesekan antara Juba dan Kampala.
Para analis regional menilai konflik ini dapat merusak hubungan ekonomi dan diplomatik antara kedua negara, yang sebelumnya dikenal memiliki kerja sama erat, terutama dalam bidang perdagangan dan keamanan regional.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada mediasi langsung antara kedua negara. Namun, Uni Afrika dan IGAD (Intergovernmental Authority on Development) menyerukan gencatan senjata segera dan mendesak kedua pihak untuk menahan diri.
Pemerintah Uganda dalam pernyataannya juga menegaskan akan mempertahankan integritas wilayahnya dan tidak segan melakukan tindakan militer lanjutan jika provokasi terus berlanjut dari pihak Sudan Selatan.
Tanggapan Internasional dan Upaya Damai
Masyarakat internasional, termasuk PBB, menyuarakan keprihatinan mendalam atas konflik tersebut. PBB menyebut bahwa pertikaian ini dapat memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah perbatasan, terutama bagi warga sipil yang tinggal di zona konflik.
Sementara itu, lembaga kemanusiaan melaporkan bahwa ratusan warga sipil telah mengungsi akibat bentrokan. Banyak di antara mereka mencari perlindungan di kota-kota terdekat atau bahkan menyeberang ke negara tetangga.
Juru bicara militer Sudan Selatan, Mayor General Lul Ruai Koang, dalam keterangannya kepada media lokal, menyatakan bahwa pihaknya terbuka terhadap upaya damai dan siap berunding jika Uganda menghentikan pelanggaran wilayah.
Namun, Uganda hingga kini belum menunjukkan sinyal untuk meredakan ketegangan. Menteri Pertahanan Uganda, Vincent Ssempijja, mengatakan bahwa “Uganda tidak akan diam jika teritori kami dilanggar dan pasukan kami diserang secara sepihak.”
Kondisi ini menciptakan kekhawatiran akan pecahnya konflik berskala lebih besar yang berpotensi melibatkan negara-negara tetangga lainnya. Terlebih, Sudan Selatan dan Uganda merupakan bagian penting dari poros keamanan regional di Afrika Timur.
Belum ada laporan pasti mengenai jumlah korban luka dari insiden tersebut. Namun, laporan awal menyebut bahwa lebih dari 20 tentara dari kedua pihak mengalami luka-luka serius akibat baku tembak.
Pengamat dari Institut Perdamaian Afrika menyebut bahwa bentrokan ini menunjukkan kegagalan dalam implementasi perjanjian batas wilayah yang selama ini belum dituntaskan oleh kedua negara sejak Sudan Selatan merdeka.
Situasi keamanan di sepanjang perbatasan kini berada dalam status siaga tinggi. Kedua belah pihak mengerahkan pasukan tambahan dan memperkuat barikade di sekitar lokasi sengketa, memperbesar risiko bentrokan lanjutan.
Pihak berwenang di Sudan Selatan telah meminta masyarakat sipil untuk menghindari wilayah perbatasan demi keselamatan dan mengimbau lembaga-lembaga kemanusiaan untuk bersiap menghadapi kemungkinan eksodus warga.
Hingga kini belum ada klarifikasi resmi dari Sudan Selatan maupun Uganda terkait agenda diplomatik selanjutnya. Namun, tekanan internasional terus meningkat agar kedua negara segera menempuh jalur negosiasi.
bentrokan antara pasukan Sudan Selatan dan Uganda pada 28 Juli 2025 mencerminkan kerentanan kawasan perbatasan yang belum terselesaikan secara hukum internasional. Konflik ini bukan hanya soal wilayah, tetapi juga soal kedaulatan dan stabilitas regional. Jika tidak segera ditangani, konflik ini dapat berdampak luas terhadap hubungan kedua negara dan ketahanan di Afrika Timur.
Sebagai , pihak berwenang kedua negara harus segera melakukan dialog terbuka dengan melibatkan lembaga regional dan internasional. Penyelesaian damai harus diutamakan untuk menghindari konflik lebih besar dan mengurangi penderitaan warga sipil. Langkah diplomatik perlu dipercepat agar ketegangan tidak berubah menjadi peperangan jangka panjang.
Selain itu, penyelesaian masalah perbatasan secara legal dan penguatan kerja sama ekonomi lintas batas dapat membantu meredakan ketegangan. Pihak internasional, khususnya PBB dan Uni Afrika, diharapkan segera mengirim tim mediasi guna menengahi konflik tersebut.
Diperlukan kesadaran bahwa konflik seperti ini hanya akan memperlemah pembangunan nasional dan regional. Oleh karena itu, solusi jangka panjang yang adil dan bermartabat harus menjadi prioritas bersama kedua negara.
(*)