Jakarta, EKOIN.CO – Kejaksaan Agung Republik Indonesia menegaskan bahwa tidak semua pelaku kasus korupsi layak menyandang status justice collaborator (JC). Lembaga itu menyatakan, penyesalan saja tidak cukup. Pelaku wajib membongkar keterlibatan aktor lain dalam kejahatan untuk memperoleh status tersebut.
Pernyataan ini disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah pada Rabu, 26 Juni 2025 di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Ia menyebut banyak pelaku mengajukan permohonan JC tanpa menyampaikan informasi atau bukti baru.
“Kalau hanya menyesal, tidak cukup. JC itu harus membongkar aktor lainnya. Itu baru bisa dipertimbangkan,” tegas Febrie.
JC Harus Bongkar Jaringan
Febrie menjelaskan bahwa pihaknya hanya akan mempertimbangkan pemberian status JC kepada pelaku yang membantu aparat hukum mengungkap jaringan yang lebih luas. Ia menegaskan bahwa kontribusi nyata menjadi syarat utama dalam pemberian status ini.
Kejaksaan menyebut JC sebagai alat penting dalam membongkar kejahatan kolektif seperti korupsi terstruktur. Oleh karena itu, pelaku harus memberikan informasi yang membawa penyidik menuju aktor utama atau aliran dana yang tersembunyi.
“JC bukan cuma status. Itu alat bantu sistem hukum. Jadi harus ada manfaatnya bagi penyidikan,” kata Febrie.
Penyesalan Tidak Menjamin
Menurut Febrie, banyak permintaan JC yang masuk hanya berdasar pengakuan bersalah atau penyesalan pribadi. Namun, permohonan semacam itu dianggap tidak memenuhi syarat.
Ia menegaskan bahwa tidak semua pelaku layak mendapatkan keringanan, apalagi jika tidak memberikan dampak nyata terhadap proses hukum. Kejaksaan ingin memastikan bahwa pemberian JC bukan bentuk pengampunan.
Baca juga: Tugas dan Peran Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi
Penerapan JC Dilakukan Selektif
Febrie menyebut proses evaluasi terhadap pengajuan JC sangat ketat. Penyidik akan menganalisis apakah keterangan yang diberikan benar-benar baru dan relevan dengan konstruksi perkara.
Ia menekankan pentingnya verifikasi silang terhadap bukti dan keterangan, agar tidak terjadi manipulasi. Pelaku yang berpura-pura bekerja sama dapat merusak integritas proses hukum.
“Kalau pelaku utama menyamar jadi JC, itu berbahaya. Jadi kami harus benar-benar selektif,” ujarnya.
Koordinasi dengan LPSK
Dalam proses penetapan JC, Kejaksaan Agung menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini bertugas menilai apakah pelaku layak mendapatkan perlindungan sebagai JC.
LPSK juga membantu menilai apakah informasi yang diberikan berdampak terhadap pengungkapan pelaku lain. Jika tidak, permohonan akan ditolak.
Simak juga: Perlindungan LPSK terhadap Saksi Kasus Korupsi
Tidak Semua Permohonan Dikabulkan
Kejaksaan mencatat sejumlah permohonan JC dalam beberapa kasus besar. Namun, tidak semuanya memenuhi kriteria. Hanya pelaku yang menunjukkan kerja sama aktif dan membawa dampak pada pengungkapan kejahatan yang mendapat status tersebut.
Febrie menyebut bahwa ada pelaku yang hanya mengulang fakta yang sudah diketahui penyidik. Informasi semacam itu tidak dianggap sebagai kontribusi berarti.
“Harus ada nilai tambah. Kalau tidak ada, status JC tidak diberikan,” tegasnya.
Manfaat JC bagi Negara
Kejaksaan melihat status JC sebagai insentif untuk mendorong pelaku berkontribusi dalam pembongkaran kasus. Dengan bantuan pelaku, penyidik bisa membuka skema kejahatan yang rumit dan berlapis.
Dalam beberapa kasus sebelumnya, keterangan JC membantu mengungkap peran aktor intelektual dan memetakan aliran dana korupsi lintas sektor.
Baca juga: Peta Skandal Korupsi dan Jalur Uangnya
Dukungan Akademisi dan Pakar
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah, menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian dalam pemberian status JC sangat penting. Ia menilai, jika semua pelaku diberi JC hanya karena menyesal, itu akan menjadi preseden buruk.
“JC harus digunakan secara selektif. Jangan sampai jadi celah bagi pelaku utama untuk lolos,” katanya seperti dikutip dari Kompas.
Masyarakat Diminta Pahami Fungsi JC
Kejaksaan mengimbau masyarakat untuk memahami bahwa JC bukan bentuk pengampunan. Status ini hanya diberikan sebagai imbalan atas kerja sama konkret dalam mengungkap jaringan kejahatan.
Febrie menegaskan bahwa proses hukum tidak berhenti pada pelaku yang tertangkap. Penegakan hukum harus menembus struktur kejahatan yang lebih luas.
Lihat juga: Mengapa JC Penting dalam Pemberantasan Korupsi Terorganisir
Transparansi Jadi Kunci Kepercayaan
Kejaksaan Agung berkomitmen menjaga transparansi dalam seluruh proses hukum, termasuk permohonan JC. Lembaga ini secara berkala menyampaikan perkembangan kasus kepada publik.
Febrie menyatakan, Kejaksaan tidak ingin proses hukum ditunggangi oleh kepentingan atau tekanan politik. Karena itu, mekanisme yang objektif harus terus dijaga.
“Yang kita kejar bukan kecepatan, tapi hasil akhir yang adil dan lengkap,” tutupnya.
bagi pelaku yang ingin menjadi JC adalah memberikan keterangan jujur yang mampu membuka simpul kasus secara menyeluruh. Mereka harus berani menunjukkan siapa saja yang terlibat dan bagaimana peran mereka dalam skema kejahatan tersebut.
Pelaku juga sebaiknya tidak mengandalkan rasa sesal semata, melainkan menunjukkan komitmen aktif membantu penegak hukum. Dengan begitu, status JC akan bermanfaat bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi keadilan publik.
Penyidik diharapkan terus memperkuat mekanisme validasi keterangan pelaku agar tidak tertipu oleh narasi kosong. Verifikasi silang dan pendalaman bukti menjadi sangat penting dalam memastikan validitas permohonan JC.
Kejaksaan juga sebaiknya melibatkan publik secara lebih luas dalam pengawasan proses hukum, termasuk edukasi tentang makna JC. Transparansi dan partisipasi masyarakat menjadi penopang kepercayaan terhadap sistem hukum.
JC bukan bentuk keringanan otomatis, melainkan alat bantu dalam mengungkap kejahatan lebih besar. Hanya mereka yang sungguh-sungguh membantu penyidikan yang pantas mendapatkannya. Dengan prinsip ini, pemberantasan korupsi bisa berjalan lebih tuntas dan akuntabel.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/