Jakarta EKOIN.CO – Kejaksaan Agung kembali mengambil langkah hukum dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya. Pada Rabu, 2 Juli 2025, Tim Penuntut Umum dari Direktorat Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) menyita uang sebesar Rp1.374.892.735.527 dari enam korporasi yang terkait dalam kasus tersebut.
Penyitaan dilakukan pada tahap penuntutan terhadap dua belas terdakwa korporasi yang tergabung dalam dua grup besar, yakni Grup Musim Mas dan Grup Permata Hijau. Proses ini dilakukan menyusul penitipan uang oleh enam dari dua belas perusahaan untuk mengganti kerugian negara.
Dua Grup Korporasi dan Dakwaan
Dua belas terdakwa korporasi yang tergabung dalam dua grup besar tersebut terdiri dari tujuh perusahaan di bawah Grup Musim Mas dan lima perusahaan dari Grup Permata Hijau. Mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, para terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum atau onslaag van alle rechtsvervolging. Keputusan tersebut langsung direspons oleh tim jaksa dengan menempuh upaya hukum kasasi.
Menurut perhitungan dari BPKP dan kajian Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, kerugian negara akibat perkara ini mencakup kerugian keuangan, keuntungan ilegal, dan kerugian perekonomian dengan total mencapai lebih dari Rp5,8 triliun.
Detail Penyitaan dan Perusahaan Terlibat
PT Musim Mas menjadi perusahaan tunggal dari Grup Musim Mas yang menitipkan dana, dengan jumlah mencapai Rp1,18 triliun. Sementara itu, lima perusahaan dari Grup Permata Hijau menitipkan dana secara kolektif senilai Rp186,4 miliar. Uang tersebut kini disimpan dalam Rekening Penampungan Lainnya (RPL) Jampidsus di Bank BRI.
Dana yang disita mencakup:
- Dana dari PT Musim Mas senilai Rp1.188.461.774.662,2,
- Dana dari lima perusahaan Grup Permata Hijau sebesar Rp186.430.960.865,26.
Langkah penyitaan dilakukan setelah diperoleh izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Juni 2025. Penetapan izin tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui dua surat penetapan.
Langkah lanjutan dari tim penuntut adalah memasukkan jumlah dana yang disita ke dalam Tambahan Memori Kasasi. Hal ini dimaksudkan agar hakim di Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan kompensasi atas kerugian negara dari dana yang telah disita tersebut.
Penuntut umum berharap dana yang sudah diamankan ini bisa digunakan untuk menutup kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan para terdakwa korporasi. Pemeriksaan atas kasasi perkara ini pun masih berjalan dan ditangani langsung oleh Mahkamah Agung.
Kasus ini mencerminkan besarnya dampak dari praktik korupsi di sektor strategis, khususnya di industri kelapa sawit. Penyitaan dana dengan jumlah fantastis ini juga menunjukkan keseriusan Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti proses hukum hingga tahap eksekusi.
Penting bagi masyarakat dan pelaku industri untuk mengikuti perkembangan perkara ini, sebab dampaknya bersinggungan langsung dengan perekonomian nasional. Keterbukaan informasi dari Kejaksaan Agung pun diharapkan dapat memperkuat kepercayaan publik.
Saran bagi para pelaku usaha adalah untuk senantiasa patuh terhadap regulasi dan tidak mengambil keuntungan dengan cara yang merugikan negara. Transparansi dalam proses bisnis harus menjadi prinsip utama agar tidak berurusan dengan hukum.
Bagi otoritas penegak hukum, kasus ini menjadi contoh penting bahwa pengembalian kerugian negara bisa dilakukan bahkan dalam kondisi putusan bebas, asalkan penelusuran aset dilakukan secara menyeluruh dan profesional.
Dukungan dari lembaga seperti BPKP dan institusi akademik juga menjadi bukti bahwa kolaborasi lintas sektor mampu memperkuat proses penegakan hukum.
Mahkamah Agung diharapkan dapat menilai secara objektif keberadaan dana sitaan ini sebagai bagian dari solusi penyelamatan keuangan negara. Harapan publik kini tertuju pada keputusan kasasi yang adil dan berpihak pada pemulihan aset negara. (*)