Jakarta EKOIN.CO – Lebih dari dua dekade sejak Australia melarang penggunaan dan peredaran asbes, Indonesia masih memakainya dalam berbagai bangunan. Saat ini, Australia memimpin kampanye global untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya asbes, terutama di kawasan Asia Tenggara.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Penggunaan asbes di Asia Tenggara masih marak, bahkan memunculkan sengketa hukum baru di Indonesia. Pada Maret 2025, Mahkamah Agung memerintahkan agar produk asbes diberi label tanda bahaya sebagai peringatan bagi masyarakat.
Asbes di Indonesia masih ditemukan di atap rumah, dinding sekolah, dan berbagai bangunan lain. Banyak warga tidak menyadari risiko kesehatan yang ditimbulkan hingga terjadi kasus penyakit paru-paru dan kematian.
Keputusan MA tersebut muncul setelah gugatan uji materil yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Gugatan itu bertujuan melindungi masyarakat dari paparan bahan berbahaya.
Namun, Fibre Cement Manufacturers’ Association (FICMA) yang mewakili industri asbes di Indonesia menolak putusan itu. FICMA menggugat kelompok perlindungan konsumen dan pihak lain dengan alasan adanya kerugian pendapatan.
Sebagian pihak melihat gugatan tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap upaya pelarangan asbes demi melindungi kesehatan publik. Perdebatan ini semakin memanas seiring campur tangan lobi industri internasional.
Industri Internasional di Balik Krisotil
Di balik penolakan pelabelan asbes terdapat kelompok lobi internasional yang kuat, mewakili produsen dari Rusia, China, dan Kazakhstan. Mereka menegaskan bahwa asbes putih atau krisotil aman digunakan.
“Serat krisotil, atau asbes putih… Akan cepat terurai di sistem pernapasan karena larut dalam larutan asam di saluran pernapasan,” ujar pengacara FICMA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 4 Agustus 2025.
Pernyataan itu dilanjutkan dengan klaim bahwa krisotil terbukti cepat tereliminasi dari paru-paru. FICMA juga menyatakan bahwa produk tersebut tidak perlu diberi label bahaya karena tidak tercantum dalam Konvensi Rotterdam.
Konvensi Rotterdam merupakan perjanjian internasional yang mengatur impor dan ekspor bahan kimia berbahaya. FICMA menggunakan dasar ini untuk menolak kewajiban pelabelan yang diatur oleh Mahkamah Agung.
Organisasi tersebut menuntut ganti rugi sebesar satu persen dari Rp 9,7 miliar per bulan, serta denda lebih dari Rp 5 juta per hari jika putusan tidak dijalankan tepat waktu.
WHO Tegas Menyebut Asbes Berbahaya
Dalam situs resminya, WHO menyatakan semua bentuk asbes, termasuk krisotil, bersifat karsinogenik bagi manusia. Organisasi ini menegaskan bahwa paparan asbes dapat memicu kanker paru-paru, laring, ovarium, serta mesotelioma.
WHO memperkirakan sekitar 1.600 kematian setiap tahun di Indonesia terkait penyakit akibat asbes. Secara global, angka kematian mencapai lebih dari 200.000 kasus per tahun.
Asbes juga disebut sebagai penyebab lebih dari 70 persen kematian akibat kanker yang berkaitan dengan pekerjaan. Risiko ini menjadikan asbes salah satu bahan paling berbahaya yang masih digunakan secara luas.
Badan Keselamatan dan Pemberantasan Asbes dan Silika Pemerintah Australia turut menegaskan krisotil sebagai karsinogenik. Mereka menambahkan bahwa bahan ini juga terkait dengan kanker faring, lambung, dan kolorektal.
Meski bukti medis dan ilmiah telah banyak diungkap, Indonesia belum mengikuti jejak 73 negara lain yang sudah melarang penggunaan asbes. Perdebatan antara industri dan kelompok perlindungan konsumen pun belum menemukan titik temu.
Masyarakat, terutama yang tinggal di bangunan berbahan asbes, masih berisiko terpapar. Hingga kini, kampanye untuk melarang total penggunaan bahan tersebut di Indonesia masih terus digulirkan oleh berbagai pihak.
meskipun ada putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan pelabelan, pelaksanaan kebijakan ini menghadapi perlawanan sengit dari pihak industri.
Penggunaan asbes di Indonesia telah memicu konflik hukum, kesehatan, dan kebijakan publik. Perlu upaya kolektif untuk mengatasi persoalan ini dengan mempertimbangkan keselamatan generasi mendatang.
Masyarakat diharapkan semakin memahami bahaya asbes agar dapat mengambil langkah pencegahan yang tepat. Edukasi publik menjadi kunci dalam menekan angka paparan dan korban jiwa akibat bahan berbahaya ini.
Jika pemerintah dan masyarakat dapat berkolaborasi, potensi untuk menghapus asbes secara bertahap akan semakin besar. Langkah ini akan membawa Indonesia selangkah lebih dekat pada perlindungan kesehatan lingkungan yang lebih baik.
Ke depan, pelarangan total asbes sejalan dengan rekomendasi WHO perlu menjadi prioritas nasional. Implementasi kebijakan yang kuat akan menjadi penentu keberhasilan perlindungan kesehatan publik.
( * )