Papua, EKOIN.CO – Pemerintah pusat telah mengeluarkan instruksi resmi mengimbau masyarakat di seluruh Indonesia untuk mengibarkan Bendera Merah Putih secara serentak sejak 1 hingga 31 Agustus 2025, sebagai bagian dari rangkaian perayaan HUT ke‑80 Kemerdekaan Republik Indonesia Namun di Papua, imbauan tersebut menimbulkan ketegangan setelah Kelompok Kriminal Bersenjata TPNPB‑OPM menyampaikan ancaman kepada warga yang nekat memasang bendera nasional tersebut
Secara garis besar, surat edaran Menteri Sekretaris Negara Nomor B‑20/M/S/TU.00.03/07/2025 tertanggal 28 Juli 2025 mengatur agar pengibaran bendera dilakukan di lingkungan rumah, kantor, sekolah, fasilitas publik, maupun kendaraan, sesuai pedoman identitas visual HUT ke‑80 RI Hal ini menegaskan bahwa pengibaran tidak hanya menjadi kewajiban pada 17 Agustus, tetapi sepanjang bulan Agustus, termasuk pemasangan ornamen kemerdekaan seperti spanduk, poster, dan dekorasi lainnya
Kerangka Aturan Pengibaran dan Larangan
Pemerintah mempertegas pengibaran bendera sebaiknya dilakukan antara pukul 06.00 hingga 18.00 waktu setempat. Namun, dalam kondisi upacara malam hari, pengibaran di luar jam itu diperbolehkan dengan penerangan yang layak Undang‑Undang Nomor 24 Tahun 2009 mensyaratkan agar bendera berbentuk persegi panjang dengan rasio lebar-panjang 2:3, dipasang dengan penuh hormat, dan tidak menyentuh tanah atau air
Ukuran bendera yang diperbolehkan disesuaikan dengan lokasi pemasangan, antara lain: 120 × 80 cm untuk penggunaan umum; 200 × 300 cm untuk lapangan atau gedung tinggi; 100 × 150 cm untuk ruang dalam, sekolah, atau kendaraan; serta ukuran kecil untuk kendaraan umum hingga meja. Pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan bendera gratis kepada warga yang kurang mampu agar mampu ikut berpartisipasi
Pasal 24 UU 24/2009 melarang penggunaan bendera untuk tujuan komersial, mendandani sebagai pakaian, mencetak simbol di atasnya, atau menggunakannya sebagai bungkus atau dekorasi yang merendahkan kehormatan bendera Pelanggaran tersebut bisa dikenai sanksi pidana hingga satu tahun penjara atau denda maksimal Rp 100 juta .
Konflik Sosial di Papua
Di Provinsi Papua, instruksi pemerintah ini menjadi masalah kompleks. Kelompok TPNPB‑OPM menerpa warga dengan ancaman tegas melalui video yang viral, di mana mereka menyuarakan bahwa siapa pun yang mengibarkan bendera Merah Putih akan dianggap sebagai pendatang dan diancam akan “ditembak” jika tidak meninggalkan “Tanah Papua” Salah seorang berbicara sebagai “Komandan Kodap Sinak” menyampaikan ultimatum tersebut sambil mengenakan pakaian adat dan mengibarkan Bintang Kejora di tengah hutan
Kapendam XVII/Cenderawasih Kolonel Infanteri Candra Kurniawan memastikan bahwa ancaman seperti itu merupakan bagian dari taktik teror kelompok, bukan dialog politik, dan menekankan aparat akan terus menjaga keamanan masyarakat setempat
Ancaman itu ternyata membuat banyak warga Papua enggan mengikuti instruksi pengibaran bendera nasional. Kalangan sipil dan tokoh masyarakat menyampaikan kekhawatiran bahwa memasang bendera dapat memicu intimidasi fisik atau sosial. Ini menambah dilema masyarakat antara loyalitas kebangsaan dan tekanan keamanan.
Kesulitan ini semakin nyata menjelang tanggal 17 Agustus, saat seharusnya pengibaran bendera menjadi simbol penghormatan terhadap jasa pahlawan dan semangat nasionalisme, seperti yang dijelaskan pemerintah pada pedoman HUT ke‑80
Warga yang tidak mampu pun masih mendapat jaminan pendistribusian bendera oleh pemerintah daerah, namun ancaman kekerasan membuat hal itu hampir tidak bisa terlaksana.
Perkembangan Respons Pemerintah dan Publik
Pemerintah pusat dan aparat keamanan di wilayah Papua menegaskan akan menjaga stabilitas dan memfasilitasi masyarakat yang tetap ingin mengibarkan bendera dengan aman. Koordinasi dengan tokoh adat dan masyarakat lokal juga dimaksimalkan untuk memberikan rasa aman dan perlindungan hukum.
Sementara itu, komunitas masyarakat sipil meminta dialog terbuka dengan pihak keamanan lokal agar warga tidak merasa terancam ketika menjalankan kewajiban nasional mereka. Mereka menekankan pentingnya jaminan kebebasan simbolik tanpa diskriminasi atau paksaan.
Tokoh agama dan adat di berbagai daerah menyuarakan agar negara hadir memberi ruang aman bagi warga Papua yang ingin menyemarakkan HUT ke‑80 RI, tanpa harus takut pada intimidasi oleh aktor pro-kemerdekaan Papua. Mereka berharap suasana kebangsaan tidak berubah menjadi momok bagi rakyat lokal.
Kecaman terhadap tindakan TPNPB‑OPM juga muncul dari berbagai kalangan nasional, meminta kelompok tersebut tidak menyalahgunakan simbol kebangsaan dan menghormati hak warga sipil yang memilih menunjukkan cinta tanah air mereka lewat pengibaran bendera.
Warga Papua menghadapi dilema serius di tengah instruksi nasional pengibaran Bendera Merah Putih. Mereka berhadapan dengan ancaman kekerasan dari TPNPB‑OPM yang menolak simbol negara.
Diarahkan oleh UU dan surat edaran resmi, idealnya seluruh lapisan masyarakat termasuk di Papua ikut berpartisipasi antara 1–31 Agustus 2025, namun kondisi keamanan lokal membuat pelaksanaannya tidak mudah.
Untuk mengatasi ini, aparat keamanan perlu memperkuat perlindungan warga yang memilih memasang bendera, termasuk sosialisasi dan pengawalan dari tokoh lokal dan adat.
Pemerintah daerah hendaknya menjamin distribusi bendera gratis tidak hanya sebagai simbol formal, tetapi juga jaminan keamanan berpartisipasi dalam perayaan nasional.
Di sisi lain, narasi nasional dan pendekatan dialogis harus ditingkatkan agar peserta HUT ke‑80 tidak dijadikan sasaran teror. Negara perlu hadir sebagai fasilitator ketahanan simbolik dan kultural yang mengayomi semua warga tanpa diskriminasi ( * )